Minggu, 07 Agustus 2011

Tradisi Budaya di Kab Karangnayar

1. GAMBARAN UMUM KABUPATEN KARANGANYAR

A. Kondisi Geografis
1. Letak Geografis
Kabupaten Karanganyar adalah salah satu wilayah di antara 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah yang letaknya paling timur, disebelah barat Lereng Lawu. Luas Kabupaten Karanganyar ini 77.378,64 hektar yang terbagi dalam 17 wilayah . Bila dilihat secara astronomis Kabupaten Karanganyar terletak pada garis lintang 7º.28'' sampai 7º.46'' Lintang Selatan dan garis bujur 110º.40'' sampai 110º.70'' Bujur Timur dengan batas sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Wonogiri, sebelah barat berbatasan dengan Kota Surakarta dan Kabupaten Boyolali, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Magetan Jawa Timur dan sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Sragen.
Secara geografis Kabupaten Karanganyar terdiri dari daerah datar dan pegunungan tepatnya Lereng Gunung Lawu beriklim tropis dengan suhu udara rata-rata 22º C – 31º C dan pada ketinggian 511 m diatas permukaan laut. Wilayah Kabupaten Karanganyar terletak di Jawa Tengah bagian timur, apabila dicermati, posisi kawasan wisata di wilayah Kabupaten Karanganyar ini khususnya kawasan wisata di lereng Gunung Lawu sangatlah strategis bagi kepentingan pengembangan pariwisata Jawa Tengah bagian Tenggara, dan pengembangan wisata lintas Provinsi Jawa Tengah – Jawa Timur.

2. Luas Wilayah
Luas Kabupaten Karanganyar ini ± 77.378,64 hektar yang terbagi dalam 17 wilayah Kecamatan dan terdiri dari 177 wilayah pemerintahan desa dan kelurahan dengan populasi jiwa 830.640 yang terdiri dari laki-laki 410.985 jiwa , perempuan 419.655 jiwa.
Luas wilayah 77.378,64 hektar ini, terdiri dari luas tanah sawah 22.474,91 Ha dan luas tanah kering 54.902,73 Ha. Tanah sawah terdiri dari irigasi teknis 12.929.62 Ha, non teknis 7.587,62 Ha dan luas untuk tegalan/kebun 17.863,40 Ha. Di Karanganyar terdapat hutan Negara seluas 9.729,50 Ha dan perkebunan seluas 3.251,50 Ha.
B. Pemerintahan
Kabupaten Karanganyar terbagi dalam 17 wilayah Kecamatan dan terdiri dari 177 wilayah pemerintahan desa dan kelurahan ( 15 kelurahan dan 162 desa) . Desa dan kelurahan tersebut pada tahun 2008 terdiri dari 1.091 dusun, 2.313 dukuh, 1.876 RW dan 6.130 RT . Hal ini bisa kita lihat pada tabel dibawah ini yang diambil dari data BPS kabupaten Karanganyar tahun 2009
Tabel : 1a
Pembagian Wilayah Administrasi Pemerintahan Kabupaten Karanganyar
No Kecamatan Jumlah Desa Jumlah Dusun Jumlah Dukuh Jumlah RW Jumlah RT
1 Jatipuro 10 86 100 124 305
2 Jatiyoso 9 81 88 112 281
3 Jumapolo 12 102 137 109 309
4 Jumantono 11 61 117 117 337
5 Matesih 9 78 155 107 310
6 Tawangmangu 10 39 82 99 344
7 Ngargoyoso 9 50 166 102 288
8 Karangpandan 11 65 197 122 295
9 Karanganyar 12 55 191 159 528
10 Tasikmadu 10 57 93 80 415
11 Jaten 8 46 105 101 527
12 Colomadu 11 50 126 109 441
13 Gondangrejo 13 78 157 95 399
14 Kebakkramat 10 58 119 124 389
15 Mojogedang 13 83 147 164 463
16 K e r j o 10 68 193 92 279
17 J e n a w i 9 34 140 60 220




Tabel : 1b
Pembagian Luas Wilayah dan Klasifikasi Desa Swasembada
No Kecamatan Jml
Desa Luas Wilayah (Ha) Ketinggian (m) Klasifikasi Desa
1 Jatipuro 10 4.036,4957 770 10
2 Jatiyoso 9 6.716,4886 950 9
3 Jumapolo 12 5.567,0210 470 12
4 Jumantono 11 5.355,4410 450 11
5 Matesih 9 2.626,6325 450 9
6 Tawangmangu 10 7.003,1645 1.200 10
7 Ngargoyoso 9 6.533,9420 880 9
8 Karangpandan 11 3.411,0800 500 11
9 Karanganyar 12 4.302,6382 320 12
10 Tasikmadu 10 2.759,7300 140 10
11 Jaten 8 2.554,8100 98 8
12 Colomadu 11 1.564,1650 140 11
13 Gondangrejo 13 5.679,9519 150 13
14 Kebakkramat 10 3.654,6335 95 10
15 Mojogedang 13 5.330,8955 403 13
16 K e r j o 10 4.682,2785 450 10
17 J e n a w i 9 5.608,2751 750 9

Luas Kabupaten Karanganyar ini 77.378,64 hektar yang terbagi dalam 17 wilayah Kecamatan dan terdiri dari 177 wilayah pemerintahan desa dan kelurahan dengan populasi jiwa 865.580 jiwa yang terdiri dari laki-laki 429.8525 jiwa , perempuan 436.728 jiwa.

C. Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam menunjang pembangunan wilayah Karanganyar. Hal ini dikarenakan pendidikan memiliki posisi strategis dengan mengembangkan potensi yang dimiliki Kabupaten Karanganyar yang meliputi sumber daya alam dan sumber daya manusia .

1. Jumlah sekolah
Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Karanganyar pada tahun 2008, jumlah sekolah yang ada di Kabupaten Karanganyar adalah ; jumlah SD Negeri ada 483 sekolah, SD Swasta 15 sekolah, SMP Negeri 50 sekolah, SMP Swasta 26 sekolah, SMU Negeri 12 sekolah, SMU Swasta 6 sekolah, SMK Negeri 3 sekolah, SMK Swasta 25 sekolah. Sedang data dari kantor Departemen Agama Kabupaten Karanganyar jumlah MI ada 60 buah, MTs 23 buah dan MA ada 4 buah. Jumlah Perguruan Tinggi ada 12 buah

2. Jumlah Siswa
Jumlah Siswa/murid SD/MI sebanyak 81.458 siswa, dengan jumlah guru sebanyak 4.897 orang, sehingga rasio guru : murid sebesar 1 : 16,77. Jumlah siswa SMP/MTs sebanyak 37.130 siswa, dengan guru sebanyak 2.751 orang, sehingga rasio guru : murid sebesar 1 : 13,50. Jumlah siswa SLTA/MA sebanyak 21.887 siswa dengan guru sebanyak 1.775 orang , sehingga rasio guru : murid sebesar 1 : 12,32
Rincian lebih lanjut jumlah guru di Kabupaten Karanganyar bisa dilihat dalam tabel berikut :

3. Tingkat Tamatan Sekolah
Pada tahun 2009 penduduk Kabupaten Karanganyar usia 5 tahun keatas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan adalah sebagai berikut; belum/tidak pernah sekolah ada 65.060 orang, belum tamat SD ada 81.167 orang, tidak tamat SD ada 61.446 orang, tamat SD/MI ada 298.694 orang, tamat SMP/MTs 142.701 orang, tamat SLTA/MA/D1/D2 ada 117.394 orang dan tamat Perguruan Tinggi/Akademik/D3,S1,S2,S3 ada 29.597 orang.

D. Perekonomian
Persebaran penduduk di Kabupaten Karanganyar yang belum merata, dimana kepadatan Penduduk di daerah perkotaan secara umum lebih tinggi dibandingkan daerah pedesaan dan mayoritas penduduk adalah petani dan buruh tani.Guna menunjang laju perekonomian di Kabupaten Karanganyar, pada tahun 2009 terdapat 52 pasar, toko/kios/warung ada 9.807 buah, KUD 17 buah dan Koperasi Simpan Pinjam 910 unit
Koperasi sebagai soko guru perekonomian di Indonesia, sebagai usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat, fungsi dan perannya semakin besar. Pada tahun 2009 di Kabupaten Karanganyar terdapat koperasi sebanyak 927 unit dengan jumlah anggota mencapai 153.299 orang. Jenis koperasi terbanyak berasal dari golongan masyarakat (KKT dan KSU), yaitu 876 buah, KUD 17 buah, koperasi fungsional 76 buah dan koperasi karyawan ada 79 buah.

E. Pariwisata
Kabupaten Karanganyar yang terletak disebelah barat lereng Gunung Lawu mempunyai potensi wisata yang perlu penanganan untuk dikembangkan, karena sektor pariwisata ini adalah salah satu sektor andalan dalam rangka pemasukan pendapatan daerah. Obyek wisata yang ada di Kabupaten Karanganyar meliputi taman hiburan, pemandangan alam, pemandian air panas dan peninggalan sejarah. Selama tahun 2009 jumlah pengunjung yang datang keseluruh obyek wisata mencapai 563.218 orang dengan obyek yang paling banyak dikunjungi adalah Grojogan Sewu di Tawangmangu sebanyak 285.974 orang (50,78%), Kolam renang Intanpari 125.809 orang (22,34%), Air Terjun Jumog Ngargoyoso sebanyak 46.439 orang (8,25%), dan Taman Balekambang Tawangmangu sebanyak 20.206 orang (3,59%).
Disamping obyek-obyek wisata, di Karanganyar juga terdapat Hotel Bintang Lima 1 buah, Hotel Bintang 1-2 sebanyak 3 buah, Hotel Melati 39 buah dan Pondok wisata 2 buah.
Tempat – tempat Wisata di Kabupaten Karanganyar : Candi Cetho, Candi Sukuh, Grojogan Sewu, Taman Ria Balekambang, Agrowisata Sondokoro, Taman Sapta Tirta Pablengan, Air Terjun Jumog, Air Terjun Parang Ijo, Telaga Madirdo, Cluster Dayu, Camping Lawu Resort, Puncak Lawu, Wana Wisata Gunung Bromo, Wana Wisata Bumi Perkemahan Sekipan, Taman Semar, Astana Gibangun, Astana Mangadeg, Astana Giri Layu, Agro Wisata Teh Kemuning, Padhepokan Segara Gunung, Taman Hutan Raya Ngargoyoso, Cluter Kampung Purba Dayu, Gua Nipon Ngargoyoso, Monumen Tanah Kritis, Situs Watu Kandang, Situs Palanggatan, Situs Menggung, Situs Giyanti, Pura Ki Ageng Pemacekan, Taman Semar, Alas Krendho Wahono, Amanah Farm Waduk Delingan Tirtamarta





2. BUDAYA DI KABUPATEN KARANGANYAR

A. Terbentuknya Kabupaten Karanganyar
Proses Historis terbentuknya Kabupaten Karanganyar dimulai dari pemerintahan desa yang kecil, yang terbentuk pada Masa Perjuangan Raden Mas Said pada tahun 1741 – 1757. Ketika itu Raden Mas Said yang dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa menjadikan beberapa daerah sebagai pusat perlawanan terhadap Belanda. Daerah – daerah tersebut adalah Daerah Nglaroh, Daerah Sembuyan, dan Daerah Matesih, yang selanjutnya menjadi titik sejarah dan awal dari proses pertumbuhan pemerintahan.
Berdasarkan Staatsblad Nomor 30 Tahun 1847, tanggal 5 Juni 1847, Kabupaten Anom ( Onderregent ) Karanganyar dibentuk, bersama-sama dengan dibentuknya 2 (dua) Kabupaten Anom (Onderregent) lain, yaitu Kabupaten Anom (Onderregent) Wonogiri, dan Kabupaten Anom (Onderregent) Malangjiwan, yang berada dalam wilayah Pemerintahan Kadipaten Mangkunegaran. Dalam pelaksanaan pemerintahannya, pada setiap Kabupaten Anom, termasuk pada Kabupaten Anom Karanganyar dibentuk Kantor Urusan Pemerintahan, Kantor Urusan Pengadilan, Kantor Urusan Kepolisian dan Kantor Urusan Perkebunan.
Pada Tahun 1917, dengan Rijksblad Mangkunegaran nomor 37 dibentuk 2 (dua) Kabupaten, yaitu Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Wonogiri. Dan pada tanggal 18 Nopember 1917 , Kanjeng Gusti Pangeran Arya Mangkunegara VII melantik KRMT. Hardjohasmoro sebagai Bupati Karanganyar.
Dalam kurun waktu tahun 1917 – 1930 di Kabupaten Karanganyar telah terjadi pergantian Bupati sebanyak 2 ( dua ) kali , yang berarti dalan kurun waktu 1917 – 1930 tersebut, ada 3 ( tiga ) orang Bupati yaitu KRMT. Hardjohasmoro, RMT. Sarwoko Mangoenkoesoemo, dan RMT. Darko Soegondo. Berdasarkan Rijksblad Mangkunegara Nomor 10 Tahun 1923, Kabupaten Karanganyar dibagi menjadi 3 (tiga ) wilayah Kawedanan, yaitu :
1. Kawedanan Karanganyar,
2. Kawedanan Karangpandan,
3. Kawedanan Jumapolo.
Dan selanjutnya dalam 3 ( tiga ) Kawedanan tersebut dibagi lagi menjadi 14 ( empat belas ) wilayah Kapanewon, yaitu :
1. Kapanewon Karanganyar,
2. Kapanewon Tasikmadu,
3. Kapanewon Jaten,
4. Kapanewon Kebakkramat,
5. Kapanewon Mojogedang,
6. Kapanewon Karangpandan,
7. Kapanewon Matesih,
8. Kapanewon Tawangmangu,
9. Kapanewon Ngargoyoso,
10. Kapanewon Kerjo,
11. Kapanewon Jumapolo,
12. Kapanewon Tugu ( sekarang Jumantono ),
13. Kapanewon Jatipuro, dan
14. Kapanewon Jatiyoso.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, terjadi reorganisasi pemerintahan daerah di Indonesia. Tiga Kapanewon yang sebelumnya tidak termasuk wilayah Kabupaten Karanganyar, setelah Proklamasi Kemerdekaan dimasukan ke dalam Wilayah Kabupaten Karanganyar. Tiga Kapanewon tersebut adalah Kapanewon Malangjiwan (sekarang Kecamatan Colomadu), Kapanewon Kaliyoso ( sekarang Kecamatan Gondangrejo), dan Kecamatan Jenawi. Sejak saat inilah maka Wilayah Kabupaten Karanganyar menjadi 17 ( tujuh belas ) Kapanewon / Kecamatan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proses terbentuknya Pemerintahan Kabupaten Karanganyar, dimulai dari Pemerintahan Desa yang terbentuk pada masa perjuangan RM. Said ( 1741 – 1757 ), kemudian dibentuknya Kabupaten Anom pada tanggal 5 Juni 1847, diikuti dengan dibentuknya Kabupaten Karanganyar pada tanggal 18 Nopember 1917. Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Derah Tingkat II Karanganyar Nomor 20 Tahun 1998 tentang Hari Jadi Kabupaten Karanganyar, maka Hari Jadi Kabupaten Karanganyar ditetapkan pada tanggal 18 Nopember 1917.

B. Sejarah Singkat Kabupaten Karanganyar
Sejarah asal mula Kabupaten Karanganyar tidak bisa dijauhkan dari sejarah perlawanan Raden Mas Said atau yang lebih dikenal dengan julukan Pangeran Sambernyawa terhadap penjajah Belanda yang dimulai tahun 1792. Sejarah mengatakan bahwa Pangeran Sambernyawa selalu menggunakan teknik perang gerilya yang sangat menyulitkan Belanda. Setelah melancarkan serangan secara mendadak, kemudian menghilang secepatnya untuk menyerang di tempat lain.
Suatu ketika Pangeran Sambernyawa berada di tengah Bang Wetan untuk bertapa dengan cara duduk di sebuah batu besar. Ditempat itulah Pangeran Sambernyawa mendapat wasiat melalui seekor burung derkuku yang berkicau dengan sangat aneh. Burung derkuku berkicau dengan kicauan yang yang berbunyi .” Barang siapa makan aku maka ia akan menjadi raja “
Dengan diiringi ketiga pengikutnya yang setia yaitu : Ngabei Rangga Panambang , Ngabehi Kudana Warsa dan Nitodono, Pangeran Sambernyawa kemudian berusaha mengejar burung itu sampai di sekitar padepokan seorang wanita bernama Nyi Dipo, seorang mantan pejuang wanita dari Kartasura yang lebih senang meneruskan pengabdiannya sebagai pertapa. Nyi Dipo juga dikenal dengan nama lain, yakni Sulbiah.
Di tempat itu, Pangeran Sambernyawa mengutarakan maksud kedatangannya. Nyi Dipo sendiri kaget saat menatap tamu-tamunya itu. Dia sudah merasa kalau yang di hadapannya itu adalah RM Said dan ketiga pengikut setianya.
Setelah memastikan dugaannya itu, Nyi Dipo pun langsung paham dengan maksud kedatangan Pangeran Sambernyawa yang akan memakan “ wahyu keraton” yang berwujud burung derkuku aneh itu. Nyi Dipo segera menceritakan asal mula burung derkuku yang kicauannya aneh itu. Menurut cerita Nyi Dipo, burung derkuku itu didapatkanya lewat sebuah suara gaib yang memberi petunjuk kepadanya untuk datang ke tengah hutan karena di bawah pohon jati growong atau berlubang, terdapat anak seekor burung derkuku. Burung itu harus dipelihara Nyi Dipo. Kelak jika ia sudah dapat berkicau dengan bunyi “ sapa mangan aku, bakal dadi luhur”, berarti waktunya sudah dekat dengan kedatangan seorang ksatria yang diiringi oleh tiga orang sahabatnya. Seorang ksatria yang kelak akan menjadi raja.
Pangeran Sambernyawa begitu gembira mendengar cerita Nyi Dipo. Oleh karena itu setelah memakan burung derkuku aneh itu, Pangeran Sambernyawa pun berkata “Kiranya yang ada di sini menjadi saksi, mulai hari ini dan sampai kelak ada keramaian zaman, tempat ini aku namakan Karanganyar karena di tempat inilah aku mendapatkan kemantapan akan perjanjian baru ( anyar ) menjadi raja setelah makan wahyu Keraton yang berwujud burung derkuku”.
Sejak itu, tempat Nyi Dipo berubah nama menjadi dukuh Karanganyar, yang selanjutnya menjadi Kabupaten Karanganyar. Pangeran Sambernyawa sendiri memberi gelar Nyi Ageng Karang kepada Nyi Dipo. Sampai sekarang, makam Nyi Ageng Karang sebagai cikal bakal atau awal mula Karanganyar masih ada dan terawat dengan baik. Makam Nyi Ageng Karang ini terletak di Ngloji RT 02/RW IV, Kelurahan Karanganyar, Kecamatan Karanganyar kota. Di antara puluhan makam yang ada di kawasan itu, hanya makam Nyi Ageng Karang sendiri yang berada di bawah cungkup. “Pada malam Jumat Kliwon, makam Nyi Ageng Karang selalu ramai di kunjungi peziarah,”

C. Budaya dan Pendidikan
1. Budaya atau Kebudayaan
Diskusi tentang pengertian budaya atau kebudayaan terus mengalir diberbagai forum sampai saat ini. Tentang pendefinisian kebudayaan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari tokoh antropologi Indonesia, Koencoroningrat. Sebagian ahli membedakan antara pengertian budaya dengan kebudayaan . Budaya sering diartikan sebagai konsep pemikiran , sementara kebudayaan mencakup semua aspek, konsep pemikiran dan produknya. Secara etimologis budaya “berasal dari kata budi dan daya (budi daya) atau daya (upaya atau power) dari sebuah budi, kata budaya digunakan sebagai singkatan dari kebudayaan dengan arti yang sama” (Koencoroningrat, 1980). Dalam bahasa Inggris disebut “culture” berasal dari bahasa latin colere yang berarti mengolah atau mengerjakan, dengan demikian culture diartikan sebagai segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah alam. Dalam kamus Bahasa Indonesia, juga tidak terlihat dengan tegas perbedaan pengertian budaya dan kebudayaan. “Budaya” diartikan sebagai buah atau hasil pikiran/akal budi. Kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat

2. Budaya di Kabupaten Karanganyar
Kabupaten Karanganyar yang terbagi dalam 17 Kecamatan dan 177 desa dan kelurahan ternyata memiliki bermacam/beragam kebudayaan atau budaya yang perlu dilestarikan keberadaannya, sehingga bisa sebagai ciri khas daerah serta untuk meningkatkan wisata daerah
Hubungan antara seni tradisi dan kegiatan pariwisata demikian erat. Disatu sisi potensi dan peran seni pertunjukan tradisional sebagai aset bangsa telah menunjukkan kontribusinya yang sangat besar dalam kerangka pembangunan pariwisata dan budaya. Disisi lain, pembangunan pariwisata telah memberikan kontribusi terhadap revitalisasi seni pertunjukan maupun budaya dengan menyajikan dan mengembangkannya sebagai daya tarik wisata. Dengan demikian sinergi antara seni budaya tradisional dengan pariwisata merupakan hubungan timbal balik yang simbiosis.
Seni budaya tradisional tidak hanya sekedar diciptakan dan dinikmati, lebih dari itu perlu dillindungi dan dilestarikan. Perlindungan atas budaya tradisional adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk menjaga keberlangsungan seni/budaya tersebut agar tidak mengalami kemandegan dan atau kepunahan. Seni budaya tradisional merupakan salah satu bentuk ekspresi komunal yang penting dan berfungsi sebagai jembatan dialog antara hamba dan sang Pencipta, antara masyarakat dan pemuka adat, dan antara sesama manusia. Sebagai contoh “Reog” adalah salah satu kesenian tradisi yang sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu kebatinan yang kuat, serta didalamnya mengandung ajaran moral dan sekaligus kritis terhadap kekuasaan yang korup.

D. Aspek dan Unsur Budaya Yang Perlu Diinformasikan
Aspek dan unsur budaya yang perlu diinformasikan ( ada 3 level )
LEVEL I
BUDAYA LEVEL II
UNSUR BUDAYA LEVEL III
KARYA BUDAYA

- Budaya Sasak
- Budaya Asing
- Budaya Jawa
- dll
- Bahasa Daerah
- Upacara Adat
- Busana Adat
- Kesenian
- Arsitektur Tradisional
- Permainan/Olah Raga Tradisional
- Kearifan Likal
- Kuliner
- Peralatan Hidup
- Dialek Karanganyar
- Mondosiyo
- Adat Pancot
- Kethoprak Lesung
- Limasan Karanganyar
- Mbar Suru / Gobag Sodor

- Bumbu / Jamu Khas
- Sambel / Sate Landhak
Cangkul Pegunungan
Sumber data : Materi sosialisasi oleh Sri Hastanto ISI Surakarta

1. UNSUR BAHASA DAERAH
Karya Budaya : Dialek Karanganyar
Deskripsi Tekstual
Kata Seru / Sisipan apa saja yang digunakan penduduk Karanganyar yang berbeda dengan daerah lainnya, misalnya kata “ lae-lae” atau “elae”. Kata tersebut digunakan oleh masyarakat dalam konteks sehari-hari antara masyarakat itu sendiri. Kata elae atau lae-lae untuk menyatakan rasa atau perasaan nelangsa rasa kurang puasnya orang kecil yang akhirnya pasrah menerima keadaan.

2. UNSUR UPACARA ADAT
Karya Budaya : Upacara Adat Mandhasiya
Deskripsi Tekstual
Upacara Adat Mandhasiya termasuk upacara religi, ini dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Tawangmangu khususnya di Kelurahan Pancot, Blumbang dan Kalisoro, sedangkan Kecamatan Jenawi di desa Anggrasmanis dan Gumeng. Kegiatan ini dilaksanakan tiap hari Selasa Kliwon pada Wuku Mandhasiya. Pada intinya upacara Mandhasiya adalah kegiatan bersih desa dan sedekah bumi.
3. UNSUR PAKAIAN ADAT
Karya Budaya : Pakaian Adat “ Mayang Mekar “
Pakaian ini masih ada dan dilestarikan oleh masyarakat Ngargoyoso Kecamatan Ngargoyoso. Dipakai pada acara –acara tertentu namun kadang juga digunakan pada hari-hari biasa. Pakaian ini dipakai / digunakan oleh laki-laki maupun perempuan
4. UNSUR KESENIAN DAERAH
Karya Budaya : Kesenian Daerah “ Srandhil “
Kesenian ini masih berkembang di daerah Matesih. Kesenian ini dipentaskan pada acara/upacara biasa yang ada di Matesih, bahkan pada pasamuan atau oarng punya kerja juga mementaskan kesenian Srandhil ini.
5. UNSUR ARSITEKTUR TRADISIONAL
Karya Budaya : “ Rumah Limasan ”
Arsitektur Tradisional Rumah Limasan ini merupakan arsitektur khas Karanganyar yang keberadaannya hampir punah. Limasan ini berbeda dengan limasan Kudus atau yang lain. Namun karena pengaruh budaya barat, maka bangunan rumah sekarang ini banyak yang bergaya Spanyol-an
6. UNSUR OLAH RAGA / PERMAINAN TRADISIONAL
Karya Budaya : Permainan Gobagsodor / Mbar Suru. Permainan Gobagsodor / Mbar Suru merupakan karya budaya tradisional yang sampai saat ini masih dimainkan oleh anak-anak baik yang berada di desa maupun yang berada di kota. Permainan ini selain dimainkan pada hari-hari biasa pada saat bermain, juga setiap ada event-event seperti HUT Kemerdekaan RI, permainan Gobagsodor salah satu permainan yang ikut dilombakan


3. BUDAYA, TRADISI DAN RELIGI

Kabupaten Karanganyar mempunyai potensi yang sangat tinggi dalam hal seni budaya. Karena kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan yang masih berkembang dan tumbuh subur di Bumi Intanpari. Hal ini menjadikan daya tarik wisata baik wisatawan domestik maupun manca Negara.. Untuk itulah Pemerintah Daerah berupaya penuh untuk menjaga, mengembangkan dan melestarikan seni budaya yang ada.
Kesenian sendiri dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu, seni tradisional dan seni modern. Seni tradisional seperti : Lesung, Kethoprak, Thek-thek, Dramatari, Wayang Kulit, Macapatan, Keroncong, Rebana, Laras madya, Jathilan, Sandiwara dll . Sedang seni modern adalah : Campursari, Band, Musik Dangdut, Orgent dll
Upaya-upaya yang telah dilakukan di Kabupaten Karanganyar dalam rangka peningkatan seni budaya adalah :
1. Terselenggaranya Sarasehan Pelestarian Adat Budaya yang diikuti dari unsur : Assisten, Badan, Dinas, Kantor, Budayawan, Seniman, Pelaku Seni, Guru Kesenian, Tokoh Agama dan Masyarakat Umum
2. Pencanangan Gerakan Kidungan Macapat , hal ini dikarenakan bahwa Tembang Macapat adalah salah satu Muatan Lokal (Mulok) bagi siswa di tingkat satuan pendidikan, mulai dari tingkat SD sampai SLTA, dengan harapan untuk membentuk budi pekerti dan moralitas generasi muda agar tidak luntur karena pengaruh budaya manca Negara. Kenapa demikian karena isi dari Tembang Macapat banyak mengandung filosofi dan makna yang tersirat untuk dimengerti dan dilaksanakan. Sedangkan bagi masyarakat Kabupaten Karanganyar adalah wajib melantunkan tembang tersebut pada acara atau event-event tertentu bahkan pada pertemuan-pertemuan rutin
3. Melakukan pembinaan dan memberi bantuan stimulan dana kepada kelompok / paguyuban sanggar seni di wilayah Kabupaten Karanganyar
4. Mengirimkan seniman ke pelatihan dan pemberdayaan guna peningkatan sumber daya manusia
5. Menjalin kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Karanganyar dengan ISI Surakarta
6. Memfasilitasi dan memberikan stimulan bantuan pada upacara-upacara adat di wilayah Kabupaten Karanganyar yang masih tumbuh dan berkembang di masyarakat sebagai daya tarik wisata, seperti : Mandasiya, Dhukutan, Julungan, Wahyu Kliyu, Mahesa Lawung, Pasar Kumandang, Hari Saraswati dll


A. CANDI.
1. Candi Sukuh.
CANDI Sukuh terletak di lereng barat Gunung Lawu pada ketinggian 910 meter di atas permukaan laut, tepatnya di Desa Mberjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Berdiri di atas ngarai, di antara sawah dan pepohonan cengkeh, inilah candi yang sering di sebut sebagai The Last Temple. Selepas Majapahit runtuh pada abad XV memang tak lagi ditemui pembangunan candi. Tak berlebihan jika kemudian banyak yang menyebut candi ini sebagai saksi terakhir kejayaan Hindu di Jawa.
Agaknya dengan melihat kondisi alam yang berupa pegunungan, candi ini dibangun dengan konsep punden berundak atau teras bertingkat yang merupakan satu-satunya di Jawa. Teras atau undak pada candi ini diawali dengan bangunan gapura yang bernama Paduraksa. Gapura ini mirip dengan pylon, sejenis gapura masuk ke Piramida di Mesir. Ambang pintu gapura ini berhias kala berjanggut panjang, sebuah relief yang tidak ditemui di candi-candi Hindu. Pada sisi kanan dan kiri gapura terpampang relief yang menggambarkan seorang yang tengah berlari dengan menggigit ekor ular naga yang sedang melingkar. Sementara di atasnya terdapat relief yang menggambarkan makhluk mirip manusia yang sedang melayang dan relief seekor binatang melata. Arkeolog KC Cruq pernah menyebut relief ini sekadar sebagai sengkalan atau simbol tahun pembuatan. Dan relief di ambang gapura ini, konon dibaca gapura buto aban wong (gapura raksasa memakan manusia). Gapura dengan karakter 9, buta karakternya 5, mangan karakter 3, dan wong mempunyai karakter 1. Jadi candra sengkala tersebut dapat dibaca 1359 Saka atau tahun 1437 M, menandai selesainya pembangunan gapura pertama ini. Pada sisi selatan gapura terdapat relief raksasa yang berlari sambil menggigit ekor ular. Relief ini juga sebuah sangkalan rumit yang bisa dibaca : “Gapura buta anahut buntut “(gapura raksasa menggigit ekor ular), yang bisa di baca tahun 1359 Seperti tahun pada sisi utara gapura.
Yang paling unik adalah motif yang berada di lantai gapura, terdapat paduan lingga-yoni dalam bentuk nyata. Gambaran vagina dan penis ini diduga sebagai lambang kesuburan. Sepintas memang nampak porno, tetapi tentu saja bukan ini maksudnya. Sebab tidak mungkin di tempat suci yang merupakan tempat peribadahan terdapat lambang-lambang yang porno. Sebaliknya, relief lingga-yoni ini sesungguhnya sebagai Dewa Syiwa dengan istrinya (Parwati). Lingga-yoni merupakan lambang kesuburan. Relief tersebut sengaja di pahat di lantai pintu masuk dengan maksud agar siapa saja yang melangkahi relief tersebut segala kotoran yang melekat di badan menjadi sirna sebab sudah terkena “suwuk”. Boleh jadi, relief ini memang berfungsi sebagai “suwuk” untuk “ngruwat”, yaitu membersihkan segala kotoran yang mengotori hati manusia.
Pada teras kedua terdapat gapura yang tidak utuh lagi. Dari prarekonstruksi, gapura ini dulunya berbentuk gapura bentar, seperti pintu gerbang masuk candi-candi di Jawa Timur umumnya. Bagian depan gapura terdapat sebuah arca Dwarapala yang saat ini sudah dalam keadaan aus. Arca ini lain dengan dwarapala pada arca candi-candi pada umumnya karena nyaris tanpa aksesori. Tubuhnya polos, dan bahkan gada yang dibawanya pun tanpa ukiran.
Undak atau teras ketiga berupa kompleks candi induk dan merupakan kawasan paling suci. Untuk memasuki teras ketiga, pengunjung harus melewati sebuah gapura yang tak utuh lagi. Candi induk yang terletak di barisan paling belakang, menghadap ke barat, berbentuk piramida Mesir yang terpancung bagian atasnya. Candi induk ini berukuran 15 x 15 meter. Di atas bangunan ini diperkirakan ada bangunan candi yang terbuat dari kayu. Perkiraan berdasarkan sisa-sisa umpak batu pada bagian atas candi. Di kompleks ini juga terdapat arca binatang berupa kura-kura, garuda, dan gajah, arca tokoh raksasa yang tak dikenal, dan Dwarapala. Pada salah satu arca garuda terdapat prasasti berangka tahun 1363 Caka atau 1441 Masehi, dan 1364 Caka atau 1442 Masehi. Sementara pada sisi kanan-kiri di depan candi induk terdapat relief yang menggambarkan cerita Sudhamala dan Garudeya yang mengisahkan tentang upacara suci ruwatan.
Candhi Sukuh memang dibuat bertrap-trap semakin ke belakang semakin tinggi. Berbeda dengan umumnya candhi-candhi di di Jawa Tengah, Candi Sukuh dikatakan menyalahi pola dari buku arsitektur Hindu Wastu Widya. Di dalam buku itu diterangkan bahwa bentuk candhi harus bujur sangkar dengan pusat persis di tengah-tengahnya, dan yang ditengah itulah tempat yang paling suci. Namun satu hal yang mungkin mencengangkan, Candi Sukuh ternyata dibangun menyimpang dari aturan-aturan itu. Namun penyimpangan ini bukanlah sesuatu yang mengherankan. Pasalnya, ketika Candi Sukuh dibangun, masa kejayaan Hindu mulai memudar. Akibatnya kebudayaan asli Indonesia terangkat ke permukaan lagi, yaitu kebudayaan prahistori jaman Megalithic, sehingga mau tak mau ikut mewarnai dan memberi ke khasan pada candhi Sukuh ini. Selanjutnya, trap ketiga candi dianggap trap paling suci. Di tempat inilah ritual atau sembahyang dilakukan. Salah satu yang menandai bahwa trap ini sebagai tempat suci, adalah dengan banyaknya petilasan di kawasan ini. Pada teras ketiga ini terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Jika para pengunjung ingin mendatangi candi induk yang suci ini, maka batuan berundak yang relatif lebih tinggi daripada batu berundak sebelumnya harus dilalui.
Selain itu lorongnya juga sempit. Konon arsitektur ini sengaja dibuat demikian. Sebab candi induk yang mirip dengan bentuk vagina ini, menurut beberapa pakar memang dibuat untuk mengetes keperawanan para gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, maka selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila ia tidak perawan lagi, maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang dipakainya akan robek dan terlepas. Seperti halnya trap pertama dan kedua, pelataran trap ketiga ini juga dibagi dua oleh jalan setapa yang terbuat dari batu. Jalan batu di tengah pelataran candi ini langka ditemui di candi-candi pada umumnya. Model jalan seperti itu hanya ada di “bangunan suci” prasejarah jaman Megalithic.
Di sebelah selatan jalan batu, di pada pelataran terdapat fragmen batu yang melukiskan cerita Sudamala. Sudamala adalah salah satu 5 ksatria Pandawa atau yang dikenal dengan Sadewa. Disebut Sudamala, sebab Sadewa telah berhasil “ngruwat” Bathari Durga yang mendapat kutukan dari Batara Guru karena perselingkuhannya. Sadewa berhasil “ngruwat” Bethari Durga yang semula adalah raksasa betina bernama Durga atau sang Hyang Pramoni kembali ke wajahnya yang semula yakni seorang bidadari di kayangan dengan nama bethari Uma Sudamala maknanya ialah yang telah berhasil membebaskan kutukan atau yang telah berhasil “ngruwat”.Adapun Cerita Sudamala diambil dari buku Kidung Sudamala. Lima fragmen ini masing-masing terpeta jelas dalam bentuk relief. Relief pertama menggambarkan ketika Dewi Kunti meminta kepada Sadewa agar mau “ngruwat” Bethari Durga namun Sadewa menolak. Relief kedua, Bima mengangkat raksasa dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menancapkan kuku “Pancanaka” ke perut raksasa. Pada relif ketiga, Sadewa diikat kedua tangannya diatas pohoh randu alas karena menolak keinginan “ngruwat” sang Bethari Durga. Sang Durga mengancam Sadewa dengan sebuah pedang besar di tangannya. Selanjutnya relief berkisah tentang Sadewa yang berhasil “ngruwat” sang Durga. Sadewa kemudian diperintahkan pergi kepertapaan Prangalas. Di tempat inilah konon Sadewa menikahi Dewi Pradapa. Sementara relief ke lima menggambarkan ketika Dewi Uma (Durga setelah diruwat Sadewa) berdiri di atas Padmasana. Sadewa beserta panakawan menghaturkan sembah pada sang Dewi Uma.
Pada pelataran ini juga dapat ditemui soubasement dengan tinggi 85 cm, luasnya sekitar 96 M². Ada juga obelisk yang menyiratkan cerita Garudeya. Cerita soal Garudeya merupakan cerita “ruwatan” pula. Konon, obelisk ini mengisahkan Garuda yang mempunyai ibu bernama Winata yang menjadi budak salah seorang madunya yang bernama dewi Kadru. Dewi Winata menjadi budak Kadru karena kalah bertaruh tentang warna ekor kuda uchaiswara. Dewi Kadru menang dalam bertaruh sebab dengan curang dia menyuruh anak-anaknya yang berujud ular naga yang berjumlah seribu menyemburkan bisa-bisanya di ekor kuda uchaiswara sehingga warna ekor kuda berubahhitam Dewi Winata dapat diruwat sang Garuda dengan cara memohon “tirta amerta” (air kehidupan) kepada para dewa.
Kembali pada bangunan candi, di sisi selatan jalan batu ada terdapat candi kecil, yang di dalamnya terdapat arca dengan ukuran yang kecil pula. Menurut mitologi setempat, candi kecil itu merupakan kediaman Kyai Sukuh penguasa ghaib kompleks candi tersebut . Di dekat candi kecil terdapat arca kura-kura yang cukup besar sejumlah tiga ekor sebagai lambang dari dunia bawah yakni dasar gunung Mahameru, juga berkaitan dengan kisah suci agama Hindhu yakni “samudra samtana” yaitu ketika dewa Wisnu menjelma sebagai kura-kura raksasa untuk membantu para dewa-dewa lain mencari air kehidupan (tirta prewita sari). Ada juga arca garuda dua buah berdiri dengan sayap membentang. Salah satu arca garuda itu ada prasasti menandai tahun saka 1363. Juga terdapat prasasti yang menyiratkan bahwa Candi Sukuh dalam candi untuk pengruwatan, yakni prasasti yang diukir di punggung relief sapi. Dalam relief ini, sapi tadi digambarkan sedang menggigit ekornya sendiri dengan kandungan sengkalan rumit : Goh wiku anahut buntut maknanya tahun 1379 Saka. Sengkalan ini makna tahunnya persis sama dengan makna prasasti yang ada di punggung sapi yang artinya kurang lebih demikian : untuk diingat-ingat ketika hendak bersujud di kayangan (puncak gunung), terlebih dahulu agar datang di pemandian suci. Saat itu adalah tahun saka Goh Wiku anahut buntut 1379. Kata yang sama dengan ruwatan di sini yaitu kata : “pawitra” yang artinya pemandian suci. Karena kompleks Candi Sukuh tidak terdapat pemandian atau kolam pemandian maka pawitra dapat diartikan air suci untuk “ngruwat” seperti halnya kata “tirta sunya”. Tempat suci untuk pengruwatan. Sejumlah bukti menegaskan hal ini. Sebut saja misalnya relief lingga-yoni di gapura pertama. Selain berfungsi sebagai “suwuk”, relief ini juga berfungsi untuk “ngruwat” siapa saja yang memasuki candi. Selanjutnya adalah relief Sudamala yang menceritakan Sadewa “ngruwat” sang Durga, juga relief Garudeya yang menggambarkan Garuda “ngruwat” ibunya yang bernama dewi Winata. Prasasti tahun 1363 Saka pun menegskan fungsi ngruwat ini lewat tulisan “babajang maramati setra hanang bango”. Termasuk prasasti tahun 1379 Saka yang mencantumkan kata “pawitra” yang berarti air suci (air untuk pengruwatan).
Ditemukan pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta pada masa pemerintahan Gubernur Raffles, Candi Sukuh memang segera menjadi banyak perhatian para arkeolog. Mulai saat itu banyak kalangan sarjana mengadakan penelitian Candhi Sukuh antara lain Dr. Van der Vlis tahun 1842, Hoepermen diteruskan Verbeek tahun 1889, Knebel tahun 1910, dan sarjana Belanda Dr. WF. Stutterheim. Untuk mencegah kerusakan yang semakin memprihatinkan, Dinas Purbakala setempat pernah merehabilitasi Candi Sukuh pada tahun 1917, sehingga keberadaan Candi Sukuh seperti kondisi yang kita lihat sekarang. Candi Sukuh terdiri tiga tiga trap. Setiap trap terdapat tangga dengan suatu gapura. Gapura-gapura itu amat berbeda bila dibandingkan dengan gapura umumnya candi di Jawa Tengah, apa lagi gapura pada trap pertama. Bentuk bangunannya mirip candi Hindu dipadu dengan unsur budaya asli Indonesia yang nampak begitu kentara, yakni kebudayaan Megaliticum. Barangkali unik, candi yang berdiri pada abad ke-15 ini tidak dibangun oleh para petinggi kerajaan, tapi justru dibangun oleh masyarakat pinggiran pelarian Majapahit yang menghindari pasukan Demak Bintoro. Karena itu, bentuk candi ini lebih banyak berupa punden berundak, dengan keunikan-keunikan arca yang berbeda dengan candi-candi pada umumnya. Bentuk yang unik inilah yang menandai adanya akulturasi dari budaya Hindu yang dibawa orang-orang Majapahit, dengan kepercayaan masyarakat Jawa pinggiran yang masih menyembah arwah nenek moyang. Maka, tak berlebihan jika Candi Sukuh dikatakan sebagai monumen sejarah perubahan peradaban dari agama Hindu ke Islam di Jawa. Bahkan, bisa dikatakan candi ini merupakan bangunan terakhir dalam era peradaban candi-candi. Satu keunikan lain, kompleks candi ini terdapat patung-patung makhluk bersayap. Makhluk ini disebut sebagai garuda karena salah satu patung yang masih utuh menunjukkan kepala seperti burung garuda. Hanya saja, patung-patung ini memiliki tangan dak kai seperti manusia dan sayap seperti malaikat. Apakah patung ini menggambarkan makhluk alien? Di luar keunikannya, candi ini sangat sederhana dan berisikan sejumlah relief dengan berbagai bentuk. Di antaranya bentuk kelamin laki-laki dan wanita yang dibuat hampir bersentuhan. Pada deretan relief-relief yang menghiasi dinding candi juga digambarkan relief tubuh bidadari dengan posisi “pasrah” serta relief rahim wanita dalam ukuran cukup besar. Relief-relief seks itu menggambarkan lambang kesucian antara hubungan wanita dan pria yang merupakan cikal bakal kehidupan manusia. Hubungan pria dan wanita melalui relief ini dilambangkan bukan melampiskan hawa nafsu, tapi sangat sakral yang merupakan curahan kasih sayang anak manusia untuk melahirkan sebuah keturunan. Tak heran jika candi ini juga dikenal sebagai candi paling erotis.
Pada bagian lain, candi ini juga dipenuhi relief-relief yang satu sama lain tidak berhubungan sehingga melahirkan banyak ceritera dan legenda. Kisah-kisah tentang relief itu bisa beragam tergantung persepsi orang-orang sesuai dengan sudut pandangnya. Relief di candi ini menggambarkan cerita yang tidak saling berhubungan. Seperti legenda Dewi Uma yang dikutuk suaminya Batara Guru karena berbuat serong dengan seorang penggembala. Ada juga ceritera wanita yang kalah judi lalu dibebaskan di candi ini sehingga bisa masuk sawarga (surga). Legenda warga setempat menyebut candi ini merupakan tempat bertemu dengan roh yang sudah meninggal. Berdiri di lereng Gunung Lawu, membuat udara sekitar candi sejuk. Bahkan pada musim penghujan, tak jarang kabut tebal selalu menyelimuti kawasan candi. Setiap bulan antara 200-250 turis asing. Sebagian besar ingin melihat erotisme candi, sebagian yang lain ingin melakukan meditasi.

2. Candi Ceto.
Candi Cetho (ejaan bahasa Jawa: cethå) merupakan sebuah candi bercorak agama Hindu peninggalan masa akhir pemerintahan Majapahit (abad ke-15). Laporan ilmiah pertama mengenainya dibuat oleh Van de Vlies pada 1842. A.J. Bernet Kempers juga melakukan penelitian mengenainya. Ekskavasi (penggalian) untuk kepentingan rekonstruksi dilakukan pertama kali pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda. Berdasarkan keadaannya ketika reruntuhannya mulai diteliti, candi ini memiliki usia yang tidak jauh dengan Candi Sukuh. Lokasi candi berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, pada ketinggian 1400m di atas permukaan laut.
Sampai saat ini, komplek candi digunakan oleh penduduk setempat yang beragama Hindu sebagai tempat pemujaan dan populer sebagai tempat pertapaan bagi kalangan penganut agama asli Jawa/Kejawen.
Ketika ditemukan keadaan candi ini merupakan reruntuhan batu pada empat belas dataran bertingkat, memanjang dari barat (paling rendah) ke timur, meskipun pada saat ini tinggal 13 teras, dan pemugaran dilakukan pada sembilan teras saja. Strukturnya yang berteras-teras membuat munculnya dugaan akan kebangkitan kembali kultur asli ("punden berundak") pada masa itu, yang disintesis dengan agama Hindu. Dugaan ini diperkuat dengan bentuk tubuh pada relief seperti wayang kulit, yang mirip dengan penggambaran di Candi Sukuh.
Pemugaran yang dilakukan oleh Humardani, asisten pribadi Suharto, pada akhir 1970-an mengubah banyak struktur asli candi, meskipun konsep punden berundak tetap dipertahankan. Pemugaran ini banyak dikritik oleh pakar arkeologi, mengingat bahwa pemugaran situs purbakala tidak dapat dilakukan tanpa studi yang mendalam. Bangunan baru hasil pemugaran adalah gapura megah di muka, bangunan-bangunan dari kayu tempat pertapaan, patung-patung Sabdapalon, Nayagenggong, Brawijaya V, serta phallus, dan bangunan kubus pada bagian puncak punden.
Selanjutnya, Bupati Karanganyar, Rina Iriani, dengan alasan untuk menyemarakkan gairah keberagamaan di sekitar candi, menempatkan arca Dewi Saraswati, sumbangan dari Kabupaten Gianyar, pada bagian timur kompleks candi.
Pada keadaannya yang sekarang, Candi Cetho terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk candi bentar, pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman dan di sini terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun Cetho.
Pada aras ketiga terdapat sebuah tataan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan kura-kura raksasa, surya Majapahit (diduga sebagai lambang Majapahit), dan simbol phallus (penis, alat kelamin laki-laki) sepanjang 2 meter dilengkapi dengan hiasan tindik (piercing) bertipe ampallang. Kura-kura adalah lambang penciptaan alam semesta sedangkan penis merupakan simbol penciptaan manusia. Terdapat penggambaran hewan-hewan lain, seperti mimi, katak, dan ketam. Simbol-simbol hewan yang ada, dapat dibaca sebagai suryasengkala berangka tahun 1373 Saka, atau 1451 era modern.
Pada aras selanjutnya dapat ditemui jajaran batu pada dua dataran bersebelahan yang memuat relief cuplikan kisah Sudhamala, seperti yang terdapat pula di Candi Sukuh. Kisah ini masih populer di kalangan masyarakat Jawa sebagai dasar upacara ruwatan. Dua aras berikutnya memuat bangunan-bangunan pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai saat ini pendapa-pendapa tersebut digunakan sebagai tempat pelangsungan upacara-upacara keagamaan. Pada aras ketujuh dapat ditemui dua arca di sisi utara dan selatan. Di sisi utara merupakan arca Sabdapalon dan di selatan Nayagenggong, dua tokoh setengah mitos (banyak yang menganggap sebetulnya keduanya adalah satu orang) yang diyakini sebagai abdi dan penasehat spiritual Sang Prabu Brawijaya V.
Pada aras kedelapan terdapat arca phallus (disebut "kuntobimo") di sisi utara dan arca Sang Prabu Brawijaya V dalam wujud mahadewa. Pemujaan terhadap arca phallus melambangkan ungkapan syukur dan pengharapan atas kesuburan yang melimpah atas bumi setempat. Aras terakhir (kesembilan) adalah aras tertinggi sebagai tempat pemanjatan doa. Di sini terdapat bangunan batu berbentuk kubus.



3. Candi Kethek.
Tersembunyi di dalam tanah maupun diantara bebatuan. Itulah kiranya kondisi reruntuhan candi yang ditemukan pada masa kini. Di kaki gunung Lawu, tepatnya di Desa Gumeng, Kec. Jenawi, Kab. Karanganyar, Jawa Tengah, tersembunyi suatu candi di tengah pohon-pohon cemara yang menjulang tinggi. Candi tersebut bernama Candi Kethek. Letaknya tidak jauh dari Candi Cetho.
Sebenarnya lokasi Candi Kethek itu termuat pada peta Desa Cetho yang ada di jalan utama menuju desa Cetho. Untuk menuju Candi Kethek pengunjung harus menelusuri hutan di kaki Gunung Lawu. Artinya jelas jalannya sempit, bertanah, dan licin di musim hujan. Namun itu semua sebanding dengan pemandangan alam yang tersaji sepanjang perjalanan. Perjalanan dari Candi Cetho ke Candi Kethek itu kurang lebih 15 menit berjalan kaki.
Lain Cetho lain Kethek. Candi Kethek melemparkan imajinasi kita ke bentuk peninggalan suku Maya di Amerika Tengah sana.
Di Candi Kethek praktis tidak ditemui batu-batu relief yang bisa menjadi sumber informasi arkeologis. Hanya dua patung pra-Hindu yang menghiasi puncak candi ini. Teras-terasnya sudah ditumbuhi pepohonan pinus. Bahkan ada salah satu pohon yang sempat tumbuh menembus dinding batunya. Dalam kesederhanaannya, keheningan dan kedamaian suasana malah terasa kuat.
Seperti Candi Sukuh dan Candi Cetho, bentuk candi ini adalah punden berundak. Tapi kalau diperhatikan, bentuknya mirip sekali sama Candi Gembirowati. Hanya bedanya candi ini dikelilingi pohon cemara dan lebih tinggi. Candi ini sudah diketahui keberadaannya pada tahun 1842. Baru pada tahun 2005, BP3 Jawa Tengah dan Jurusan Arkeologi UGM melakukan penelitian mendalam pada candi ini. Menurut hasil penelitian, candi ini merupakan candi Hindu. Di puncak candi terdapat altar sesaji, tentu buatan masa kini. Dahulu kala, para ahli memperkirakan di puncak ini terdapat bangunan atap serupa dengan di teras tertinggi Candi Cetho.

B. SITUS.
1. Situs Purbakala Watukandang.
Situs Purbakala Watukandang merupakan situs bangunan berbentuk pra candi sebelum berkembang. Merupakan peninggalan megalistik berupa kelompok deretan batu berdiri yang tertapa rapi. Situs Watukandang diperkirakan sudah ada sebelum adanya candi-candi megah di Indonesia. Peninggalan ini dikeramatkan oleh masyarakat dan dikenal dengan sebutan Watukandang. terletak di tepi jalan tembus Tawangamngu – Matesih. Yang bisa ditemui di Situs Watukandang antara lain :
1. Punden Berundak dimana Batu Kadang ini berdiri condong sehingga seperti punden berundak yang biasanya disembah sebagai nenek moyang mereka.
2. Menhir dimana bentuk dari salah satu dari Watu Kandang yang besar dan berdiri tegak seperti tugu, maka bisa diasumsikan bahwa Watu Kandang bisa jadi sebagai Tugu yang menurut mereka suci, dan sebagai tempat pemujaan roh-roh nenek moyang.
3. Dolmen dimana Watu Kandang itu membentuk seperti meja di tengah-tengah Watu Kandang yang lainya, maka bisa diperkirakan sebagai tempat meletakkan sesaji kepada roh nenek moyangnya.
4. Lumbung Batu yang mana Watu Kandang berbentuk besar dan melebar, ditengahnya berbentuk cukung dan dalam. Maka bisa disimpulkan salah sutu Wutu Kandang Juga sebagai tempat pengupasan kulit padi.
5. Gerabah dimana ditemukan berbagai manik-manik yang terbuat dari tanah liat disekitar Watu Kandang.
6. Manik juga ditemukan manik-manik kecil yang berbentuk Heksagonal, Tetragonal, Silinder, Cornder.
7. Kubur Batu yaitu kuburan atau tempat letak jenazah karena bentuk Watu Kandang yang membentuk persegi empat dengan ukuran batu dan jarak batu sama dan teratur membentuk sebagai tempat jenazah.


2. Situs Purbakala Menggung.
Punggung Lawu layaknya panggung pertunjukan atau kelir di pentas wayang kulit. Banyak peristiwa pernah terjadi di sana. Berbalur mistisme yang terus kental hingga sekarang. Menggung itu bukan candi, tapi umurnya sudah tua. Memang tak banyak keterangan bisa didapat, tapi mengetahui tempat itu berusia tua saja sudah cukup alasan untuk menjadikan Menggung sebagai tujuan berikutnya. Banyak pengunjung yang datang ke petilasan yang bertebaran di Gunung Lawu, cara masyarakat Lawu mengisi batin dan mengingat peran kemanusiaannya. Situs Menggung berasal dari zaman Hindu. Hingga sekarang ramai didatangi pada hari-hari tertentu. Berada di Desa Nglurah, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar. Di sekelilingnya adalah penyemaian tanaman hias yang jadi usaha masyarakat Nglurah. Loketnya tak ada penjaga. Namun demikian, situs yang berada dalam perlindungan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah itu seolah-olah "dilindungi" oleh pengunjungnya. Hampir tak ada sampah bertebaran—daun gugur janganlah dihitung sebagai sampah—dan tong sampah ada di beberapa titik. Empat dwarakala menjaga mulut tangga menuju petilasan. Dua di kanan, dua di kiri. Dua di kanan memegang gada, dua di kiri tidak lagi jelas bentuknya. Satu sudah aus, satu lagi malah terpenggal setengah badan. Dwarapala yang aus ini punya dua arah hadap, ke depan dan belakang. Sampai di ujung anak tangga yang jumlahnya 20-an itu, terpampang area datar berukuran 10 x 15 meter. Ini teras ke-2. Teras pertama adalah sebelum naik tangga tadi. Paling tidak, ada enam pohon tua dengan diameter 1 hingga 1,5 meter di teras ke-2 ini. Ada beberapa anak tangga lagi yang dijaga sepasang dwarapala, mengantar ke teras ke-3. Di sinilah berdiri pohon terbesar dan tertinggi, tak jauh dari dwarapala. Berdiameter 3 meter. Entah apa namanya. Demikian tinggi pohon ini hingga kalau kita berdiri di bawahnya, pucuk pohon tak terlihat. Pohon yang mirip beringin itu berada dekat tinon, tembok ukuran 3 x 5 meter mengelilingi dua arca yang dikeramatkan. Ada satu arca berada dalam cekungan pohon besar. Pohon besar serta dua arca di dalam tinon diberi sarung kotak-kotak hitam putih khas Bali. Arca-arca di Menggung unik, karena berukuran mini. Dwarapala sang penjaga dengan gada di tangan dan bertampang sangar itu hanya setinggi 80 sentimeter. Yang ada di cekungan pohon malah cuma 50 sentimeter. Hanya dua arca dalam tinon yang terbilang tinggi, yakni satu setengah meter. Sepasang arca dalam tinon inilah pusat Menggung, arca Kyai Menggung dan Ratu Shima yang dikenal masyarakat Nglurah dengan sebutan Kyai Menggung dan Nyi Rasa Putih. Di sekelilingnya penuh dengan sesajen. Selain bunga-bungaan, ada pula singkong rebus, kue dari olahan singkong, kopi, dan hio. Bunga dan kue-kue masih segar. Mungkin sisa semalam, karena kami datang Selasa siang. Kyai Menggung dan Nyi Rasa Putih-lah yang jadi alasan datangnya masyarakat setiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon ke sini yang jatuh setiap enam bulan sekali. Seluruh teras penuh, bahkan hingga ke bawah. Selain penduduk Nglurah, datang juga rombongan-rombongan dari luar kota. Ada juga upacara Dhukutan yang diadakan setiap Selasa Kliwon Wuku Dhukut penanggalan Jawa. Ritusnya mengelilingi dua arca utama sebanyak tujuh kali, baru kemudian melaksanakan tawuran, yakni tradisi tawuran pemuda Dukuh Nglurah Lor dan Dukuh Nglurah Kidul, sebagai bentuk rasa syukur terhadap pepunden mereka itu. Kyai Menggung diyakini merupakan julukan Narotama, putra Bali yang jadi pengikut Raja Airlangga. Ke Nglurah dia mengembara, mendekatkan diri ke Hyang Widhi. Dari laku-nya itu didapat kata "menggung" yang berasal dari melengake marang Gusti Kang Maha Agung (memusatkan segala perhatian kepada Tuhan Yang Maha Agung). Narotama kemudian bertemu perempuan sakti bernama Nyi Rasa Putih yang tinggal di desa seberang. Pertemuan dua orang sakti ini menciptakan perseteruan setiap hari, bahkan berkembang jadi perkelahian dua desa yang melibatkan warganya. Tak dinyana, dari sanalah tumbuh rasa cinta di keduanya hingga mereka sepakat menikah. Hari pernikahan Kyai Menggung dan Nyi Rasa Putih yang jatuh pada Selasa Kliwon Wuku Dhukut dijadikan hari diadakannya Tawuran Dhukutan. Tidak ada candra sengkala yang menunjukkan kapan didirikannya petilasan ini. Tapi jika benar Kyai Menggung adalah Narotama, artinya usia tempat ini sudah 10 abad. Seribu tahun. Narotama hidup di abad ke-11. Walau demikian bisa jadi juga arca-arca dibangun belakangan, satu masa dengan dibangunnya Candi Sukuh dan Candi Ceto yang juga ada di lereng barat Lawu, yakni pada abad ke-15.

3. Situs Purbakala Palanggatan.
Planggatan hingga kini masih merupakan situs sejarah yang miskin informasi. Barulah sejak 1979 situs ini menjadi asuhan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jateng. Pada tahun 1985 BP3 Jateng pernah melakukan penggalian sebanyak dua kali. Dari penggalian ini diketahui bahwa candi yang masih terpndam ini menghadap ke Barat. Entah mengapa, setelah diketahui arah hadap candi, penggalian dihentikan dan batuan candi ditutup kembali.
Justru karena diketahui bahwa candi menghadap ke Barat serta adanya relief pada batu yang sudah tampak, disimpulkan bahwa situs ini serupa atau sealiran dengan Candi Sukuh.
Lokasi
Situs Planggatan memiliki total luas 4.460 meter persegi, diapit oleh perkampungan penduduk dan tanah tegalan (perkebunan). Kalau kita berada di lingkungan situs, terasa berada di puncak candi yang berpendar melingkar ke segenap penjuru. Kondisi situs pada saat ini, sebagian besar batu-batunya belum tergali secara utuh. Hanya tampak beberapa batu berelief yang masih setengah terpendam. Berdasarkan informasi, pada awalnya tempat keberadaan situs ini merupakan tanah kas desa/dusun yang ditanami rumput untuk pakan ternak. BP3 Jateng merngupayakan penyertifikatan tanah. Dengan demikian, tanah tempat situs ini sekarang resmi dibawah pengelolaan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jateng dan ditetapkan sebagai cagar budaya.
Bahkan hingga kini tidak ada restribusi. Dengan demikian sangat jarang wisatawan yang datang, kalau pun ada merupakan singgahan setelah dari Candi Sukuh.
Relief
Yang tersisa dari Candi Planggatan yang dibangun pada ketinggian 910 meter di atas permukaan laut kini hanyalah sisa-sisa candi berupa sekumpulan batu andesit tersusun berderet membentuk denah berukuran 30 x 30 meter sedangkan bagian tengahnya berupa gundukan tanah setinggi satu meter saja. Dari tinggalan beberapa batu candi yang tersisa ini ada yang mempunyai relief. Relief yang dipahatkan pada sebuah batu sebagai bagian dari sebuah candi biasanya berfungsi sebagai penghias candi belaka atau dapat pula memuat cerita yang sesuai dengan sifat keagamaan candi tersebut.
Tampaknya relief-relief yang tersisa di candi ini dahulunya merupakan rangkaian sebuah cerita tetapi mengingat jumlahnya yang terbatas (hanya 6 lempang) tampaknya cerita yang ingin disampaikan dalam relief tersebut sukar untuk dirangkai.
Relief-relief tersebut antara lain relief seorang tokoh laki-laki yang merangkul pinggang tokoh lain (wanita) di bagian muka dan di bagian belakang tokoh terdapat tiga orang pengiring; relief seorang tokoh menunggang kuda sedang di bagian belakang tokoh tersebut ada dua orang pengiring membawa tombak dan pada bagian depan terdapat tiga orang bertubuh pendek; relief rumah panggung dan dua rumah berbentuk pendapa yang di bagian sampingnya terdapat seorang pengawal membawa tombak mengiring seorang tokoh menunggang kuda; relief beberapa orang membawa senjata; relief seorang tokoh menunggang kuda diiringi oleh beberapa wanita dan tiga punakawan.
“Gajah Wiku”
Dari sejumlah relief yang tersisa ini ada satu relief yang cukup menarik dan menjadi petunjuk kuat mengenai pertanggalan candi tersebut. Relief itu adalah relief seekor gajah yang digambarkan secara antropomorfis (setengah hewan-setengah manusia) dalam posisi berdiri dengan belalai ke bawah dan di bagian mulutnya terdapat gambar bulan sabit, seolah-olah gajah tersebut tengah memakan buah sabit. Gajah digambarkan memakai sorban seperti seorang wiku/pendeta. Pada bagian pinggang memakai ikat pinggang yang dibuat dari lipatan kain dan pada bagian pinggang sampai lutut tertutup kain pula. Relief ini merupakan sebuah sengkalan memet yang jika dibaca berbunyi “Gajah wiku mangan wulan” yang jika diartikan menjadi sebuah angka tahun 1378 caka atau sama dengan 1456 Masehi. Penggambaran Gajah Wiku ini sama dengan relief yang ditemukan di Candi Sukuh merupakan bagian dari relief pande besi, hanya saja relief Gajah Wiku di Candi Sukuh digambarkan tengah memakan buntut. Namun nilai sengkalan memetnya mempunyai arti yang sama yakni 1378 caka. Artinya pembangunan kedua candi ini (Planggatan dan Sukuh) mempunyai kurun waktu yang sama.
Pada bagian kanan relief Gajah Wiku ini terdapat pahatan prasasti sebanyak empat baris. Bentuk pahatan huruf prasasti ini juga sama dengan prasasti batu yang ditemukan di Candi Ceto dan Sukuh. Hasil pembacaan Riboet Darmosoetopo, seorang dosen arkeologi Fakultas Sastra UGM, Yogyakarta menyebutkan.
Sebenarnya sorban yang dipakai gajah bukan menggabarkan wiku (bhikkhu) karena wiku tidak memakai sorban, namun berkepala gundul. Rasanya lebih mengena bila disebut sebagai “gajah begawan”, sebab penggambaran begawan ada yang bersorban sebagaimana digambarkan sebagi Begawan Abiyasa.
Pendapat yang lain Situs ini termasuk peninggalan dari Prabu Brawijaya V Raja terakhir Majapahit sebelum moksa. (wafat beserta raganya) Diceritakan bahwa Prabu Brawijaya V atau Prabu Udara berpindah dari kratonnya di Jawa Timur ke Gunung Lawu sebelah Barat (Jawa Tengah - Kab Karanganyar), sebelumnya Brawijaya sempat beristirahat dan membuat singgahan di sekitar Rawa Pening (Kab.Semarang) yg saat ini disebut Candi Dukuh. Kami belum dapat menginformasikan letak Candi Dukuh.


4. Situs Purbakala Giyanti.
Monumen Perjanjian Giyanti atau Situs Giyanti terletak di desa Janti kalurahan Jantiharjo Kecamatan Karanganyar Kota. Monumen ini merupakan suatu monument sejarah yang sangat monumental yang menandai pembagian wilayah Kerajaan Mataram Islam menjadi dua , yakni Surakarta dan Jogjakarta ( Kasunanan dan Kasultanan ) pada zaman pemerintahan Pakubuwono III sekitar tahun 1755.
Ditempat inilah tersimpan ingatan kolektif masyarakat Indonesia tentang kelicikan Penjajah Belanda dalam menundukkan para penguasa Jawa melalui politik pecah belah (devide et impera).
Ditempat ini pula terdapat peninggalan arca yang belum sempurna. Komplek Monumen ini berada di lingkungan desa yang teduh
Naskah Perjanjian Giyanti 1755
Perjanjian Giyanti adalah kesepakatan antara VOC, pihak Mataram (diwakili oleh Sunan Pakubuwana III), dan kelompok Pangeran Mangkubumi.Kelompok Pangeran Sambernyawa tidak ikut dalam perjanjian ini.Pangeran Mangkubumi demi keuntungan pribadi memutar haluan menyeberang dari kelompok pemberontak bergabung dengan kelompok pemegang legitimasi kekuasaan memerangi pemberontak yaitu Pangeran Sambernyawa. Perjanjian yang ditandatangani pada bulan 13 Februari 1755 ini secara de facto dan de jure menandai berakhirnya Kerajaan Mataram yang sepenuhnya independen. Nama Giyanti diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian ini, yaitu di Desa Giyanti (ejaan Belanda, sekarang tempat itu berlokasi di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo), di tenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah.
Lokasi penandatanganan Perjanjian Giyanti
Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi dua: wilayah di sebelah timur Kali Opak (melintasi daerah Prambanan sekarang) dikuasai oleh pewaris tahta Mataram (yaitu Sunan Pakubuwana III) dan tetap berkedudukan di Surakarta, sementara wilayah di sebelah barat (daerah Mataram yang asli) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I yang berkedudukan di Yogyakarta. Di dalamnya juga terdapat klausul, bahwa pihak VOC dapat menentukan siapa yang menguasai kedua wilayah itu jika diperlukan.
Perundingan pembagian Kerajaan Mataram
Peta pembagian Mataram setelah Perjanjian Giyanti dan didirikannya Mangkunagaran pada tahun 1757
Menurut dokumen register harian N. Hartingh (Gubernur VOC untuk Jawa Utara), pada tanggal 10 September 1754 N. Hartingh berangkat dari Semarang untuk menemui Pangeran Mangkubumi. Pertemuan dengan Pangeran Mangkubumi sendiri baru pada 22 September 1754. Pada hari berikutnya diadakan perundingan yang tertutup dan hanya dihadiri oleh sedikit orang. Pangeran Mangkubumi didampingi oleh Pangeran Notokusumo dan Tumenggung Ronggo. Hartingh didampingi Breton, Kapten Donkel, dan sekretaris Fockens. Sedangkan yang menjadi juru bahasa adalah Pendeta Bastani.
Pembicaraan pertama mengenai pembagian Mataram. N. Hartingh menyatakan keberatan karena tidak mungkin ada dua buah matahari. Mangkubumi menyatakan di Cirebon ada lebih dari satu Sultan. Hartingh menawarkan Mataram sebelah timur. Usul ini ditolak sang Pangeran. Perundingan berjalan kurang lancar karena masih ada kecurigaan diantara mereka. Akhirnya setelah bersumpah untuk tidak saling melanggar janji maka pembicaraan menjadi lancar. Kembali Gubernur VOC mengusulkan agar Mangkubumi jangan menggunakan gelar Sunan, dan menentukan daerah mana saja yang akan dikuasai oleh beliau. Mangkubumi berkeberatan melepas gelar Sunan karena sejak 5 tahun lalu diakui rakyat sebagai Sunan. (Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sunan [Yang Dipertuan] atas kerajaan Mataram ketika Paku Buwono II wafat di daerah Kabanaran, bersamaan VOC melantik Adipati Anom menjadi Paku Buwono III).
Perundingan terpaksa dihentikan dan diteruskan keesokan harinya. Pada 23 September 1754 akhirnya tercapai nota kesepahaman bahwa Pangeran Mangkubumi akan memakai gelar Sultan dan mendapatkan setengah Kerajaan. Daerah Pantai Utara Jawa (orang Jawa sering menyebutnya dengan daerah pesisiran) yang telah diserahkan pada VOC (orang Jawa sering menyebut dengan Kumpeni) tetap dikuasai VOC dan ganti rugi atas penguasaan Pantura Jawa oleh VOC akan diberikan setengah bagiannya pada Mangkubumi. Terakhir, Pangeran memperoleh setengah dari pusaka-pusaka istana. Nota kesepahaman tersebut kemudian disampaikan pada Paku Buwono III. Pada 4 November tahun yang sama, Paku Buwono III menyampaikan surat pada Gubernur Jenderal VOC Mossel atas persetujuan beliau tehadap hasil perundingan Gubernur Jawa Utara dan Mangkubumi.
Berdasarkan perundingan 22-23 September 1754 dan surat persetujuan Paku Buwono III maka pada 13 Februari 1755 ditandatangani 'Perjanjian di Giyanti yang kurang lebih poin-poinnya, seperti dikemukakan Soedarisman Poerwokoesoemo, sebagai berikut:
Pasal 1
Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah di atas separo dari Kerajaan Mataram, yang diberikan kepada beliau dengan hak turun temurun pada warisnya, dalam hal ini Pangeran Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.
Pasal 2
Akan senantiasa diusahakan adanya kerjasama antara rakyat yang berada dibawah kekuasaan Kumpeni dengan rakyat Kasultanan.
Pasal 3
Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder) dan para Bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada Kumpeni di tangan Gubernur.
Pasal 4
Sri Sultan tidak akan mengangkat/memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati, sebelum mendapatkan persetujuan dari Kumpeni.
Pasal 5
Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang selama dalam peperangan memihak Kumpeni.
Pasal 6
Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran, yang telah diserahkan oleh Sri Sunan Paku Buwono II kepada Kumpeni dalam Contract-nya pada tanggal 18 Mei 1746. Sebaliknya Kumpeni akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan 10.000 real tiap tahunnya.
Pasal 7
Sri Sultan akan memberi bantuan pada Sri Sunan Paku Buwono III sewaktu-waktu diperlukan.
Pasal 8
Sri Sultan berjanji akan menjual kepada Kumpeni bahan-bahan makanan dengan harga tertentu.
Pasal 9
Sultan berjanji akan mentaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara raja-raja Mataram terdahulu dengan Kumpeni, khususnya perjanjian-perjanjian 1705, 1733, 1743, 1746, 1749.
Penutup
Perjanjian ini dari pihak VOC ditanda tangani oleh N. Hartingh, W. van Ossenberch, J.J. Steenmulder, C. Donkel, dan W. Fockens. "
Perlu ditambahkan Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder/Chief of Administration Officer) dengan persetujuan residen/gubernur adalah pemegang kekuasaan eksekutif sehari hari yang sebenarnya (bukan di tangan Sultan).
Badai belum berlalu
Perjanjian Giyanti belum mengakhiri kerusuhan karena dalam perjanian ini kelompok Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said) tidak turut serta.Mengapa dalam perjanjian Giyanti ini Pangeran Sambernyawa tidak turut serta? Para Pujangga Jawa dan Sejarahwan rupanya enggan untuk menulis persoalan detail sekitar perjanjian ini atau paling tidak generasi muda diberi suatu informasi yang benar sebagai landasan membangun mentalitas bangsa pentingnya persatuan.
Dalam Perjanjian Giyanti ini Pangeran Sambernyawa adalah rivalitas Pangeran Mangkubumi untuk menjadi penguasa nomer satu di Mataram.Perjanjian Giyanti merupakan persekongkolan untuk menghancurkan pemberontak.Berhubung pemberontak Mangkubumi sudah bertobat dan kembali bersama VOC dan Paku Buwono III bersekutu kembali untuk tujuan yang sama mematahkan dan menumpas pemberontakan.
Pemberontak yang dimaksud dalam persekutuan dengan Perjanjian Giyanti adalah Pangeran Sambernyawa.Sebagai pemimpin pemberontak Pangeran Sambernyawa dinyatakan sebagai musuh bersama.Disini Perjanjian Giyanti terjadi bukannya tanpa sebab.Sebab yang utama adalah "penyeberangan Pangeran Mangkubumi" dari memberontak menjadi sekutu VOC dan Paku Buwono III.
Mengapa dan bagaimana Pangeran Mangkubumi yang telah lari dari Keraton dan menggabungkan diri dengan pemberontak tiba tiba kembali memerangi pemberontak? Dengan Perjanjian Giyanti Pangeran Mangkubumi sudah bukan lagi sebagai pejabat bawahan Paku Buwono III melainkan sebagai penguasa yang demi alasan ketenteraman Kerajaan memainkan peran memerangi pemberontak.
Disini rupanya Sejarah ada yang disembunyikan dan ditutup tutupi. Pangeran Mangkubumi yang sebelum Perjanjian Giyanti memusuhi VOC secara tiba tiba berbalik bahu membahu memerangi pemberontak. Apa latar belakang yang mendasari sehingga terjadi persekutuan baru VOC, Paku Buwono III dan Pangeran Mangkubumi? Persekutuan Paku Buwono III dengan VOC sudah bukan barang baru lagi karena keduanya bersekutu untuk menumpas pemberontakan. Pangeran Mangkubumi merupakan persoalan tersendiri karena bersama Pangeran Sambernyawa berada dalam posisi memberontak dan memusuhi VOC.
Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa tidak kompak dalam menghadapi VOC.Kedua nya berselisih dan puncak perselisihan itu mengemuka dengan menyeberangnya Pangeran Mangkubumi ke pihak lawan ( VOC ).Penyeberangan itu dilakukan karena kekuatan bersenjata Pangeran Mangkubumi mengalami kekalahan yang sangat telak dan Pangeran Mangkubumi tidak ingin kehilangan kekuasaannya atas kekuatan bersenjatanya akibat kalah dengan Pangeran Sambernyawa.VOC melihat bahwa Pangeran Mangkubumi tidak bakalan menyeberang ke pihaknya kalau tidak mengalami kekalahan dalam perselisihan itu.
Dengan bersama sama Kompeni atau VOC maka musuh Pangeran Mangkubumi bukan lagi VOC/kompeni/Belanda melainkan musuhnya adalah Pangeran Sambernyawa sebagai musuh bersama ( VOC/Kompeni/Belanda, Pakubuwono III, Pangeran Mangkubumi).

C. UPACARA ADAT TRADISIONAL
1. Upacara Adat Julungan
1. Latar Belakang
Tawangmangu yang terletak dilereng lawu ternyata mempunyai beragam budaya tradisi yang masih diselenggarakan secara turun temurun di tengah-tengah masyarakat. Ditengah berkembangnya budaya manca negara yang bisa membuat lupa akan adat ketimuran, namun di wilayah Kecamatan Tawangmangu ini di tiap desa mempunyai upacara tradisi yang tetap dilestarikan dan diselenggarakan secara rutin sampai sekarang. Bahkan dengan sedikit pengemasan dalam melaksanakan upacara tradisi ini bisa menambah daya tarik wisata yang menjadi andalan Kabupaten Karanganyar. Seperti di desa Kalisoro Kecamatan Tawangmangu, yang mempunyai tradisi bersih desa dan sedekah bumi yang dinamakan Julungan

2. Waktu Pelaksanaan
Upacara tradisi Julungan dilaksanakan tiap Selasa kliwon pada Wuku Julungwangi pada Kalender Jawa.

3. Prosesi Upacara
Pada waktu dulu upacara Julungan hanya dilaksanakan di punden, tempat yang diyakini warga sebagai tempat moksanya leluhur yang banyak membantu warga, yaitu Kyai Honggodito. Warga sebelumnya telah melakukan bersih desa dan juga membersihkan lokasi punden leluhur. Kemudian tiap warga membawa masakan dibawa ke punden diadakan untuk kenduri dan do’a bersama yang dipimpin oleh sesepuh desa. Selesai kenduri makanan dibagi-bagi kepada seluruh warga.
Sekarang dengan sedikit kemasan, juga dilaksanakan kirab. Dari pagi setelah diadakan persiapan-persiapan, seluruh warga dengan membawa aneka ubarampe sesaji untuk kenduri yaitu nasi uduk , ingkung (ayam utuh yang dimasak dan tidak potong-potong) sambel goreng dan juga membawa segala macam hasil bumi seperti sayuran, buah-buahan, pala kependem, bunga dll. Untu nantinya setelah diadakan do’a bersama dipunden lalu makanan dibagi ke semua warga yang hadir

4. Urutan Kirab
Dalam pelaksanaan kirab yang diawali dari balai desa Kalisoro menuju punden, diatur dengan urtan sebagai berikut :
- Paling depan adalah kelompok maching band anak-anak sekolah
- Berikutnya adalah kelompok yang membawa bendera dan umbul-umbul
- Dibelakangnya kelompok pembawa pusaka kraton
- Pembawa sesaji kenduri
- Kelompok Ibu-ibu PKK
- Para tokoh masyarakat
- Karang Taruna
- Kelompok Kesenian dan dibelakang sendiri adalah Reyog.

2. Upacara Adat Mondosiyo
a. Latar Belakang
Salah satu desa yang masyarakatnya tetap menjaga dan melestarikan upacara bersih desa sehingga menjadi budaya tradisi yang harus dipertahankan adalah Desa Pancot Kalurahan Blumbang Kecamatan Tawangmangu. Budaya bersih desa di Pancot Blumbang Tawangmangu ini dinamakan Mondhosiyo, yaitu upacara sedekah bumi yang dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan bersih desa. Upacara bersih desa ini diselenggarakan dalam beberapa hari, dan pada puncak upacara dipentaskan kesenian lokal.
Nama upacara tradisional bersih desa Mondhosiyo ini erat hubungannya dengan pakuwon yang dianut masyarakat Jawa pada saat itu, terutama pada cerita Prabu Watugunung dan Dewi Sinta. Hal ini dikarenakan keduanya melahirkan anak yang jumlahnya 28 orang yang kemudian menjadi nama wuku-wuku di tanah Jawa.
Sebagai alat pendidikan, cerita dan Upacara Mondhosiyo terdapat unsur-unsur pendidikan bahwa setiap tindak kejahatan akhirnya akan mendapat ganjaran yang setimpal (Prabu Boko akhirnya terbunuh di Watu Gilang). Dan watu gilang ini sampai sekarang menjadi tempat penyiraman air badeg (air tape) dan pelepasan ayam jago pada akhir rangkaian Upacara Mondhosiyo.
Upacara bersih desa mempunyai makna yang erat dengan keberadaan suatu masyarakat. Suatu bentuk warisan leluhur dirasa sebagai suatu kewajiban untuk melestarikan, dan mereka akan merasa puas apabila sudah melaksanakan. Namun mereka akan merasa takut kalau tidak melaksanakan apalagi melanggar pantangannya.
Selain sebagai sarana bersih-bersih desa, upacara adat Mondhosiyo juga sebagai bentuk rasa syukur masyarakat terhadap hasil bumi yang dihasilkan. Dan mereka masih meyakini kekuatan yang ada pada saat upacara dilaksanakan.
Mitos – ritus Mondhosiyo sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan sebagai alat pengendali sosial. Dan sampai saat ini selain berfungsi sebagai alat pemaksa agar nilai-nilai sosial berupa kebersamaan, kegotong-royongan juga berfungsi sebagai bentuk ungkapan rasa syukur atas segala kenikmatan, kesehatan dan kemakmuran yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

b. Tujuan diselenggarakan Upacara Mondosiyo
Tujuan dari penyelenggaraan upacara tradisi yang telah diselenggarakan secara turun temurun ini adalah untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar warga selalu diberi keselamatan lahir batin, dijauhkan dari segala bencana dan selalu diberi berkah dan keberhasilan.

c. Waktu Penyelenggaraan
Upacara Mandasiya dilaksanakan setiap 7 bulan sekali atau 6 lapan sekali (1 lapan = 35 hari) dan puncak upacara tepatnya pada hari Selasa Kliwon Wuku Mondhosiyo (kalender Jawa). Dimulai dari jam 06.00 pagi tiap harinya (karena penyelenggaraan diawali dari persiapan biasanya sampai 3 hari). Upacara Mondhosiyo dilaksanakan di komplek punden “Bale-Pathokan” . Disini juga terdapat Batu Gilang, dan ditempat ini diyakini sebagai tempat pertempuran antara Putut Tetuko dan Prabu Boko yang dimenangkan oleh Putut Tetuko dengan membenturkan kepala Prabu Boko ke Batu Gilang yang menggambarkan siapa yang salah akan kalah atau mati, dan yang jujur atau baik tentu akan memperoleh kemenangan.

d. Prosesi Upacara
Sebelum gerakan bersih desa dilaksanakan, warga masyarakat mengumpulkan beras di Kaling masing-masing , kayu bakar dan sejumlah uang yang telah ditentukan jumlahnya, masyarakat menyebutnya “cebukan”. Beras yang terkumpul dimasak menjadi nasi gandhik yang nantinya juga dibagikan kepada seluruh warga, kayu bakar digunakan untuk memasak gandhik. Adapun uang yang dikumpulkan untuk belanja kebutuhan/keperluan yang lainnya, misalnya untuk membeli kambing kendhit (kambing yang mempunyai warna hitam dengan warna putih melingkar di bagian perut) dan beberapa ekor ayam jantan untuk kelengkapan sesaji. Menurut kepercayaan mereka dengan memakan nasi gandhik akan mendapatkan keselamatan dan terlepas dari malapetaka. Paginya dimulai pukul 06.00 pagi seluruh warga keluar untuk gotong royong membersihkan desa dan juga punden leluhur yang dianggap keramat. Pada saat kegiatan seperti ini semua warga rela untuk meninggalkan kegiatan rutin seperti kekantor, berdagang ke pasar atau keladang, karena upacara itu merupakan ungkapan rasa hormat kepada leluhur sekaligus ungkapan terima kasihnya kepada sang pencipta alam karena mereka telah melampaui kegiatan rutin dengan selamat dalam waktu sekitar 7 (tujuh) bulan.
Pada pagi harinya, Selasa Kliwon,semua warga menuju ke punden leluhur di punden ”Bale Pathokan” membawa sesaji untuk mengirim do’a. Selanjutnya pada malam harinya sekitar pukul 19.00 ada petugas penabuh ”Bendhe” tradisional ketempat-tempat yang dianggap kramat.
Pada puncak acara, digelarlah kesenian tradisional seperti Reog dan pementasan Wayang Kulit dan diakhiri dengan penyiraman air badeg (air tape) pada batu gilang yang berada di sebelah selatan pasar. Batu gilang ini merupakan legenda di Pancot dan juga pelepasan ”nazar” yaitu pelepasan ayam jantan (jago) keatas atap rumah pasar dukuh Pancot. Dan ayam inilah yang diperebutkan oleh masyarakat sebagai salah satu bentuk keyakinan adanya nilai-nilai yang luhur dalam perebutan ayam ini.

3. Upacara Adat Dhukutan
Satu lagi upacara bersih desa yang sampai saat ini masih dilestarikan. Lain di Pancot lain lagi di Nglurah meskipun sama-sama di Kecamatan Tawangmangu dan sama-sama dalam menyelenggarakan upacara bersih desa. Upacara ini lebih dikenal dengan upacara Dhukutan. Upacara Dhukutan dilaksanakan setiap hari Selasa Kliwon Wuku Dhukut pada kalender Jawa.
Yang unik dari Dhukutan adalah semua masakan bahan tidak boleh dari beras dan waktu memasak tidak boleh dicicipi. Masyarakat atau warga sebelum bergotong royong melaksanakan bersih desa, mereka membuat sesaji berupa hidangan dari bahan pala kependem atau bahan non beras. Sesaji terlebih dahulu dikumpulkan dirumah sesepuh adat untuk diadakan do’a bersama, kemudian masing-masing warga mendapatkan satu bagian sesaji. Puncak upacara ritual Dhukutan ini dilaksanakan di Situs Menggung untuk dilaksanakan tawur sesaji atau melempar sesaji oleh 2 (dua ) kelompok masyarakat dari dusun yang berbeda.
Dua kelompok masyarakat tadi berjalan mengelilingi Situs Menggung sambil melempar sesaji yang mereka bawa sampai habis. Di dalam melaksanakan tawur sesaji mereka sambil memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk keselamatan, kesejahteraan warga Nglurah. Puncak acara malam harinya dimeriahkan dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk.

4. Upacara Adat Wahyu Kliyu.
Wahyu Kliyu adalah upacara adat selamatan berupa sedekah apem. Apem yang diselenggarakan oleh masyarakat Dusun Kendhal, Desa Jatipuro setahun sekali pada bulan Muharam (Sura) tepatnya pada malam bulan purnama tanggal 15 Sura (Kalender Jawa)
Istilah wahyu kliyu berasal dari bahasa Arab ”Yaqaqu, Yaqayum” yang artinya ” Yang memberi kekuatan ”. Ada yang mengartikan bahwa Wahyu Kliyu adalah ”Wahyu Kehidupan”. Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Wahyu Kliyu adalah suatu upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Kendhal untuk memohon ridho kepada Allah agar masyarakat Dusun Kendal dan sekitarnya selalu mendapat anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, diberi kekuatan lahir batin, dijauhkan dari segala bencana serta mala petaka.
Yang menarik pada pelaksanaan upacara Wahyu Kliyu ini, bahwa dalam selamatan tidak menggunakan nasi tumpeng seperti lazimnya beserta lauk pauk, namun selamatannya berupa ”apem ” yaitu semacam kue yang dibuat dari bahan tepung beras. Apem yang berbentuk bulat tersebut mengandung makna sebagai lambanng pengayoman, peneduh dan penyejuk.Tiap kepala somah menyajikan apem sejumlah 344 buah. Setelah selesai rangkaian acara do’a, apem dibagi lagi kepada seluruh warga. Dalam penyelenggaraan selamatan tersebut ada beberapa ketentuan yang harus dipatuhi oleh seluruh warga masyarakat Kendal, yaitu :
1. Setiap Kepala somah/keluarga harus mengikuti upacara, jika berhalangan hadir harus ada wakilnya
2. Peserta adalah laki-laki dan sudah dewasa, tidak boleh diwakilkan kepada anak kecil atau perempuan
3. Tempat apem (jawa: tompo atau bakul) harus baru / bersih
4. Pada waktu membawa bakul berisi apem, harus disunggi diatas kepala atau dipundak, tidak boleh dijinjing
5. Masing-masing peserta melempar atau menabur apem kearena yang sudah ditentukan (dihamparan tikar yang diatasnya diberi alas daun pisang yang utuh dengan posisi daun tengkurap) yang didahului dengan pembacaan do’a dan mengucap Basmalah
6. Setiap lemparan satu apem dengan diikuti ucapan Wahyu Kliyu
7. Setiap 5 menit lemparan dihentikan sebentar untuk mengatur atau menata apem yang jatuhnya di luar arena, dan untuk menertibkan barisan peserta. Kemudian dilanjutkan lagi dengan ucapan Basmalah dan ucapan Wahyu Kliyu, Wahyu Kliyu dan seterusnya sampai apem dalam tompo/bakul habis
8. Dalam melempar apem tidak boleh bersendau gurau dan atau berkata kotor dan jorok
9. Selesai pelemparan apem, lalu apem ditutup dengan daun pisang posisi tengkurap selanjutnya diikrarkan dan diakhiri do’a oleh tokoh agama Islam
10. Do’a yang dibaca adalah do’a memohon keselamatan dan do’a Assura
11. Selesai berdo’a, kue apem tersebut dibagi-bagikan kepada peserta untuk dibawa pulang dan sebagian diberikan kepada para pengunjumg yang menghadiri upacara.
Seiring berkembangnya jaman pada pelaksanaan upacara Wahyu Kliyu dulunya apem yang dibawa untuk upacara berjumlah 344 buah adalah utuh apem bulat (utuh), tapi sekarang apem yang utuh cukup 2 buah yang lainya apem yang sudah diiris-iris berjumlah 344 buah.


5. Upacara Adat Suran Jomboleka.
a. Sejarah Arya Kusuma Jomboleka
Di Dusun Talpitu Desa Ngemplak Kecamatan Karangpandan Kabupaten Karanganyar terdapat makam Arya Kusuma Jomboleko yang masih keturunan Prabu Brawijaya V raja Majapahit terakhir. Belum banyak yang mengetahui akan keberadaan makam tersebut. Bahkan sejarah adanya makam tersebut juga belum banyak diketahui oleh masyarakat di Kabupaten Karanganyar.
Dari sejarah yang ada, di dekat Pulau Madura ada pulau kecil bernama Pulau Sapudi. Penguasa pulau tersebut mempunyai seorang puteri yang bernama Rara Supadi (nama Rara Supadi ini sampai sekarang juga belum diketahui nama aslinya, hanya kemungkinan nama Rara Supadi diambil dari nama pulau asalnya). Rara Supadi diperisteri Prabu Brawijaya V, mempunyai keturunan yang diberi nama Arya Kusuma / Arya Leka / Arya Pekik. Arya Leka berparas sangat tampan seperti ayahnya, setelah dewasa beliau menjadi menantu Adipati Jaran Panole I di Madura. Setelah mertuanya meninggal di Madura, Arya Leka kemudian dinobatkan menjadi Bupati di Sumenep Madura. Beliau menjadi pemimpin perang dan bergelar seperti mertuanya dengan sesebutan JARAN PANOLE SUMENEP. Arya Leka ditetapkan menjadi pemimpin prajurit kapal milik Prabu Brawiaya.
Akhir peperangan antara Demak Bintara dengan Majapahit karena terdesaknya Pengaruh agama Islam di Jawa, Jaran Panole II (Arya Leka) meninggalkan kerajaan Majapahit pergi sampai di kaki Gunung Lawu sebelah barat di bukit/puntuk kecil kemudian bernama Arya Jabal Leka. Orang Jawa menyebut Arya Jambal Leka. Jabal artinya gunung atau bukit. Jabaleka artinya Gunung Leka, yang mana Arya Leka tinggal di tempat tersebut sampai meninggal dan dimakamkan di Jabaleka. Jaman dahulu ada yang menyebut Redi Dumilah, tetapi bukan Redi Dumilah di Puncak Gunung Lawu. Jabaleka atau Redi Dumilah dulu diberi tanaman Pohon Tal (Siwalan) berjumlah tujuh. Dari kejadian tersebut sampai sekarang tempat itu bernama JABALEKA atau DUSUN TALPITU. Di Makam Jomboleka selain Arya Kusuma yang berada di tempat tersebut Istrinya yaitu Retno Kuning dan kerabatnya. Beliau cikal bakal dusun tersebut dan oleh masyarakat setempat masih dikeramatkan keberadaanya, pada hari-hari tertentu yaitu malam Jum’at Kliwon dan Selasa Kliwon banyak Peziarah dari luar daerah yang datang untuk tirakat, menyepi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Keadaan Punden / makam sampai sekarang di kelilingi pohon dan tumbuhan yang langka misalnya : pohon aren, keningar, sono keling, mahoni, kemuning dan lain-lain. Awal mula makam tersebut dibangun sekitar tahun 1986 oleh Ibu Nur dari Jawa Timur, dari tahun ke tahun oleh Peziarah membuat bangunan gapura masuk lokasi halaman makam dan sekitar tahun 2005 sebelah timur, di pugar lagi oleh Ibu Dewi dari Jakarta dengan bentuk bangunan Joglo. Pada tahun 2007 mendapatkan APBD dari Kabupaten Karanganyar untuk membuat talud pengamanan tanah dan bangunan.

b. Sejarah terjadinya Upacara Adat Suran Jomboleko .
Setiap pergantian tahun Jawa tepatnya awal bulan Suro yaitu tanggal 1 s/d 3 Suro masyarakat mengadakan kegitana ritual di Punden Jombaleko. Ucapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dilaksanakan 3 hari berturut-turut oleh masyarakat Dukuh Ngledok, Ngablak dan Talpitu. Pada malam harinya juga diadakan tirakatan sebulan penuh yang dilakukan oleh masyarakat setempat dan para Peziarah dari luar daerah.
Jalanya Upacara Adat Suran :
1. Sore hari menjelang waktu Magrib pelakasanaan ritual, tokoh masayarakat dan Juru Kunci telah menyanggarkan kendi berjumlah tujuh (7) yang berisi air sumur setempat untuk di semayamkan di makam Arya Kusuma.
2. Pagi harinya warga telah kambing di area punden, hewan yang di sembelih tidak boleh cacat dan harus Kambing kendit yaitu berbulu hitam dan begaris putih di badannya. Masakan yang untuk sesaji tidak boleh di cicipi dan yang masak tidak boleh dalam keadaan datang bulan (menstruasi).
3. Siang hari sekitar jam 10.00 WIB, masyarakat berbondong-bondong datang di tempat dengan membawa sesaji komplit yang diletakakan dalam encek ( Jawa : anyaman yang dibuat dari bambu )
4. Ritual Tumuruning Toya Wening, yaitu air kendi yang berjumlah tujuh yang mempunyai makna sendiri-sendiri untuk dibagikan kepada masyarakat. Ada yang berpendapat bahwa air tersebut membawa berkah dan dijauhkan dari bencana.
5. Kemudian dilakukan Doa bersama dipimpin oleh Kepala Dusun setempat.
6. Setelah selesai do’a, makanan kenduri dibagi-bagi termasuk kepada peziarah yang datang untuk dimakan bersama-sama.
7. Sebagai penutup, biasanya dilanjutkan dengan sebaran Udhik-udhik yang diperebutkan oleh masyarakat yang datang, makna yang tersirat semoga masyarakata diberikan rejeki yang melimpah.

Pelaksanaan Upacara adat biasanya di dukung oleh para budayawan, Pametri Budaya, HARPI Melati Karangpandan, Pemerintah setempat dan dilakukan Kirab Prajurit Majapahit atau Arya Kuisuman dengan Pakaian Ngliga dan Senjata Bambu Runcing. Pada tahun 2006 di hadiri Bupati Karanganyar, Ketua DPRD Kabupaten Karanganyar dan Kepala SKPD, Muspika serta Abdi dalem Kraton Surakarta.
Menurut sesepuh dusun, tempat tersebut dahulu adalah tempat untuk persembunyian masyarakat setempat karena kedatangan para penjajah Belanda yang sampai di wilayah Karangpandan dan Matesih. Masyarakat merasa di lindungi oleh Tuhan Yang Maha Esa pada waktu itu, maka oleh penduduk setempat sampai sekarang punden Jambaleko masih keramat dan dianggap membawa berkah, sehingga banyak peziarah yang datang baik dari daerah Karanganyar sendiri maupun dari luar daerah, bahkan dari luar pulau Jawa juga ada yang berziarah kemakam ini.

6. Upacara Adat Pasar Kumandang.
a. Latar Belakang Diselenggarakan Upacara Pasar Kumandang
Pasar Kumandang diselenggarakan dalam rangka mengisi bulan Suro (penanggalan Jawa). Sudah menjadi kegiatan rutin/tradisi oranng Jawa pada bulan Suro dianggap sebagai bulan untuk melakukan tirakat. Banyak permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk mencari berkah, kesehatan, keberhasilan baik dibidang pertanian maupun perdagangan dan atau kesuksesan. Bulan untuk perenungan dengan apa yang telah dilakukan. Bulan untuk bebenah diri.
b. Waktu Penyelenggaraan
Pasar Kumandang yang ada di Tawangmangu adalah suatu kegiatan ritual do’a bersama yang dilakukan oleh para pedagang pasar tradisional pada hari Minggu Paing bulan Suro (penanggalan Jawa) setiap tahunnya, dimulai dari pukul 08.00 sampai selesai biasanya sore hari. Kegiatan ini diselenggarakan/dipusatkan di pasar tradisional atau pasar wisata. Pada saat dilaksanakan kegiatan Pasar Kumandang itu praktis semua pedagang berhenti dari kegiatan jual beli.
c. Prosesi Pelaksanaan
Para pedagang pasar dengan membawa peralatan sesaji (uba rampe) semua berkumpul di pasar untuk melaksanakan acara ritual do’a bersama sambil bersedekah, dengan cara memberi secara gratis macam dagangan yang dijual kepada pengunjung. Kegiatan diawali upacara kirab gunungan dengan membawa sesaji yang berupa hasil bumi dan atau dagangannya . Gunungan setinggi + 2 m ini dihiasi dengan hasil bumi berupa buah-buahan, sayuran, bunga, palawija, pala gumantung dan pala kependem, menuju tempat Ritual. Biasanya kegiatan tersebut ditempatkan di obyek wisata atau Pasar Wisata karena selain kegiatan ini rutin dilakukan sekaligus sebagai wahana guna promosi dan peningkatan kunjungan wisata.
Gunungan dikirabkan dengan diikuti oleh pedagang pasar, pedagang kaki lima, souvenir pedagang BBS ( buah, bunga , sayur), asongan , Perdabita , PHRI, masyarakat dan praktisi pariwisata diiringi oleh team kesenian daerah setempat, seperti Reog, lesung, kesenian bambu (Tek-tek), dagelan, maching band dll
Setelah dipanjatkan do’a bersama para pedagang akan menerima Barikan , yaitu bingkisan kain putih atau kantong yang berisi abon-abon berupa kacang hijau, beras kuning, empon-empon, kaca rias kecil yang dipercaya bisa sebagai penolak makhluk halus yang ingin mengganggunya. Benda tersebut bisanya disimpan pada tempat tertentu atau pada tempat menyimpan uang. Sedangkan Gunungan yang berisi hasil bumi dibagikan kepada para pengunjung juga dipercaya bahwa barang siapa yang mendapatkan akan membawa berkah bagi keluarganya. Kegiatan ini diikuti oleh para pedagang pasar dari berbagai tempat, antara lain : pedagang Pasar Tawangmangu, pedagang pasar Karangpandan, pedagang pasar Matesih, pedagang pasar Kemuning, pedagang pasar Klewer dan Pasar Legi Solo dan sekitarnya.

d. Tujuan diadakan Upacara Pasar Kumandang :
1. Pada awalnya para pedagang mengharap akan kelancaran dalam menjajakan dagangannya dan mendapatkan perlindungan Tuhan dari gangguan roh halus atau sesuatu yang tak kasat mata.
2. Memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar dijauhkan dari segala bencana dan dimurahkan rejekinya.
3. Untuk mempertahankan keberadaan pasar tradisional agar tidak kalah bersaing dengan pasar modern (mall, super market, luwes, indo maret, alpha mart dll).
4. Terjalin kerjasama atau gotong royong dan kerukunan antar pedagang.

e. Peralatan Ubarampe Kirab Gunungan, antara lain berupa :
1. Gunungan terbuat dari Kuningan, dengan maksud : jejeg , tegak seperti gunung dan tidak punya keinginan lain kecuali permintaan keselamatan kepada Sang Pencipta.
2. Sudamala terbuat dari Kuningan maksudnya : Suda artinya hilang mala artinya penyakit, dengan melakukan ritual atau permohonan, hati harus bersih, hilang dari godaan atau gangguan makhluk halus.
3. Lilin : symbol penerangan agar selalu diberi jalan yang lurus atau cahaya.
4. Tumbak : senjata untuk selalu waspada bila ada musuh yang datang.
5. Payung : mendapatkan pengayoman atau perlindungan.
6. Umbul –umbul : agar bisa dikenal diberbagai lapisan masyarakat, Bumi Intanpari terkenal sampai luar daerah.
7. Gunungan Hasil Bumi : semoga Kabupaten Karanganyar bisa subur makmur tata tentrem kerta raharja. Baldatun tayyibatun warobbun ghofur.

f. Pendukung Upacara
Adapun pendukung-pendukung yang ikut ambil bagian adalah :
1. Kelompok Duta Wisata.
2. Kelompok Pedagang Buah, Bunga dan Sayur (BBS).
3. Kelompok Perhimpunan Hotel, Rumah Makan Ondonesia (PHRI).
4. Kelompok Perdabita (Perhimpunan Pedagang Bina Wisata) Grojogan Sewu.
5. Masyarakat, Budayawan / Permadani dll.
6. Reyog, kelompok kesenian masyarakat Tawangmangu sendiri.
7. Kelompok/Team kesenian Turonggo Lawu , yaitu barisan kelompok masyarakat Tawangmangu dengan
kuda-kuda piaraanya.

7. Upacara Adat Purnama Sidi
Bulan Sura merupakan bulan penuh tirakat dan upacara slamatan. Wilujengan Purnama Sidi di laksanakan bertepatan pada saat bulan purnama, merupakan ucapan syukur akan keagungan Tuhan Yang Maha Kuasa yang diwujudkan dalam upacara jawa. Wilujengan biasa di adakan pada malam hari di Candi Sukuh maupun Candi Ceto yang di ikuti oleh para tokoh spiritual, tokoh budaya, pametri budaya dan masyarakat di sekitar Lereng Lawu.

8. Upacara Adat Tutup Suro.
Upacara Tutup Sura merupakan ucapan syukur dari rangkaian kegiatan selama satu bulan. Kegiatan ini dilaksanakan di Candi Sukuh dengan diikuti oleh tokoh budaya, pametri budaya dan masyarakat sekitar lereng lawu. Selain diisi dengan lantunan tembang – tembang macapat juga di meriahkan dengan kesenian rakyat.

9. Upacara Adat Mahesa Lawung / Sesaji Nagari
Latar Belakang
Sesaji Rajawedha atau Wilujengan Nagari Mahesa Lawung (Penanaman Kepala Kerbau sebagai sesaji) Di Hutan Krendhawahana Gondangrejo. Sebenarnya yang dikatakan wilujengan nagari Rajawedha, seperti yang disebutkan dalam Surat Pustaka Raja dan Wita Radyo dari Paheman Sasana Pustaka Karaton Surakarta Hadiningrat, telah dilaksanakan sejak jaman dahulu kala dengan nama Sesaji Rajawedha.
Para Raja-raja di Jawa semua melaksanakan Wilujengan Rajawedha, artinya wilujengan sodakohan dari Para Raja tiap awal tahun, untuk melaksanakan upacara do’a keselamatan Negara beserta isinya.
Kraton Surakarta Hadiningrat sampai sekarang secara turun temurun selalu menggelar upacara adat Wilujengan Nagari Sesaji Maheasa Lawung atau Sesaji Rajawedha. Sesaji Mahesa Lawung atau yang dikenal dengan Sesaji Rajawedha ini merupakan upacara adat kraton yang difungsikan untuk ritual keselamatan negara. Digelar setiap tahun sekali di hutan Krendhowahono dengan acara inti berupa menanam kepala kerbau liar (Jawa : Mahesa Lawung). Acara ini sempat berhenti selama ± 8 (delapan) tahun pada masa Kerajaan Demak.
Selain kepala kerbau liar, perangkat sesaji lainnya yang turut dibawa adalah bebungaan dan dupa.

Asal Mula Nama Mahesa Lawung
1. Diceritakan pada jaman Prabu Sitawaka di Negara Gilingaya, rakyat di wilayahnya terserang penyakit dan segala macam bencana yang mengakibatkan tidak tentramnya kehidupan di Negara / Wilayah Gilingaya. Bersamaan dengan tahun 387 yang ditandai ‘Candra Sengkala Pujaning Brahmana Guna”, Prabu Sitawaka memanggil Brahmana Radhi dari Ngandhong Dhadhapan untuk membuat sesaji dengan tumbal untuk Negara Gilingaya. Dalam melaksanakan titah raja, di setiap dusun melaksanakan wilujengan bersih desa yang disebut Gramawedha. Upacara bersih desa ini dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan dengan upacara sesaji Rajawedha. Ternyata tidak lama setelah diadakan upacara tadi semua penyakit dan berbagai bencana yang datang silih berganti akhirnya menghilang. Wilayah Gilingaya kembali tentram damai, makmur gemah ripah loh jinawi sampai sekarang
2. Diceritakan pula pada jamannya Sri Prabu Aji Pamasa dari Negara Pengging, kedatangan musuh yang teramat sangat kejam dari Ima Imantaka. Negara menjadi senyap , dan masyarakat menjadi kebingungan serta ketakutan yang amat sangat. Kemudian Sri Prabu Aji Pamasa minta bantuan raja raksasa yang bernama Raja Karawu untuk mengembalikan ketentraman negara. Karena Raja Karawu merasa tidak bisa mengusir musuh maka ia menyarankan kepada Prabu Aji Pamasa agar meminta bantuan kepada bala tentara di hutan Krendawahan (sekarang = Krendhawahana), kerajaannya Bathari Kalayuwati yaitu anaknya Bathari Dhurga. Tidak lama kemudian Raja Karawu pergi ke Hutan Krendhawahana dan menceritakan maksud kedatangannya sebagai utusan Sri Prabu Aji Pamasa. Bathari Kalayuwati setelah mendengar cerita Raja Karawu lalu berkata bahwa, kejadian yang menimpa Negara Pengging karena Sri Prabu Aji Pamasa dalam menjalankan roda pemerintahan, tidak pernah melakukan sesaji untuk keselamatan negara. Nah untuk mencapai ketentraman negara, aman, tata tentrem kerta raharja, Sri Prabu Aji Pamasa harus mengadakan sesaji tumbal kepala seekor kerbau (Jawa = mahesa) liar di Hutan Krendhowahono. Sri Prabu Aji Pamasa setelah mendengar uraian dari Bathari Kalayuwati lewat Raja Karawu, lalu memerintahkan kepada Patih Tambakbaya untuk mencari kerbau liar beserta ubarampe yang lain dan kemudian melaksanakan sesaji di Hutan Krendhowahono. Setelah menerima sesaji tadi lalu Bathari Kalayuwati mengerahkan semua prajurit untuk menghalau musuh dari Ima Imantaka, dan terbukti semua yang diucapkan oleh Bathari Kalayuwati, negara Pengging menjadi aman tanteram dan terbebas dari segala mara bahaya dan penyakit yang menyerang warga/rakyat. Untuk seterusnya Hutan Krendhowahono digunakan sebagai tempat melaksanakan sesaji menanam kepala seekor kerbau lawu (liar), yang lama-lama pengucapannya menjadi Lawung, akhirnya pelaksanaan sesaji tersebut dinamakan Sesaji Mahesa Lawung

Situs Watu Gilang
Di tapal masuk hutan Krendhowahono, Desa Krendhowahono Kecamatan Gondangrejo Kabupaten Karanganyar tempat pundhen untuk menggelar ritual Wilujengan Nagari Mahesa Lawung (menanam sesaji kepala kerbau) ± 400 meter disebelah barat pundhen terdapat sebuah batu yang dikhususkan keberadaannya. Sepintas batu itu tak jauh berbeda dengan batu-batu yang lain, namun batu ini keberadaanya memang terasa dikhususkan. Batu tersebut dinamakan Watu Gilang karena memang bentuk batu yang cenderung datar.
Meski batu tersebut telah diperlakukan khusus ternyata memang belum dikenal dikalangan masyarakat luas. Hal ini karena ritual tahunan (Wilujengan Nagari Mahesa Lawung) yang cukup dikenal luas oleh masyarakat yang menyamarkan keberadaan Watu Gilang. Lalu apa yang menarik dari keberadaan sebuah batu itu ?
Banyak yang tidak menyangka jika batu yang diperlakukan khusus itu ternyata menyimpan sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro. Bahkan tidak mustahil apabila Watu Gilang tersebut bisa menguak tentang pertanyaan Bagaimana sikap Keraton Surakarta terhadap perjuangan Pangeran Diponegoro.
Batu itu diyakini sebagai tempat duduk pada pertemuan Sampeyandalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono IV dengan Pangeran Diponegoro yang ketika itu sekitar awal abad XVIII, telah memulai berjuang melawan Kompeni Belanda. Sedang Sampeyandalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan (SISKS) Paku Buwono IV adalah penguasa Keraton Surakarta Hadiningrat (1788 – 1820).

10. Upacara Adat Dawuhan.
Dawuhan adalah bentuk upacara tradisi yang dilaksanakan secara turun temurun sebagai ungkapan syukur kepada Yang Maha Kuasa telah diberikan sumber kehidupan yaitu dengan membersihkan sumber mata air dari semak belukar atau tanaman yang menggangu dimana air mengalir. Sumber mata air biasa dipergunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari baik sebagai air minum, memasak ataupun untuk untuk mengalir pertanian penduduk desa. Tradisi Dawuhan diungkapkan dalam bentuk sesaji berupa hasil bumi atau nasi tumpeng lengkap dengan laukpauk. Upacara Dawuhan masih di lakukan masyarakat di daerah Tawangmangu, Ngargoyoso dan Jenawi. Tradisi Dawuhan selain sebagai ucapan syukur kepada yang Maha Kuasa juga merupakan sarana atau bentuk kepedulian sesama dimana warga masyarakat saling bersilahturami dengan makan bersama.

11. Upacara Adat Suryajawi.
Ritual ruwatan yang dipercaya orang Jawa bisa membuang sial ternyata tidak hanya dilakukan untuk manusia, tetapi di wilayah Tawangmangu Kabupaten Karanganyar di lakukan ruwatan hewan yaitu kuda. Kuda di Tawangmangu di gunakan masyarakat untuk mencari nafkah. Paguyuban Turangga Karya adalah perkumpulan kuda tunggang yang beroprasi diwilayah Air Terjun Grojagan Sewu Tawangmangu. Ritual ini dilakukan setahun sekali pada bulan sura. Prosesi ruwatan ini diawali dengan arak-arakan kuda sebanyak + 140 ekor yang telah dihias sedemikian rupa dan sehari sebelumnya dimandikan oleh pemiliknya. Seperti ruwatan pada manusia, ruwatan pada kuda ini juga menyediakan sesaji berupa tumpeng. Sesampai di tempat ruwatan, kuda-kuda ditambatkan sementara para pemiliknya menyaksikan pertunjukkan wayang kulit yang dimainkan peruwat. Setelah peruwat memimpin doa, tumpeng pun dibagikan untuk dimakan bersama-sama pemilik kuda. Puncaknya adalah membasuh kuda-kuda dengan air kembang 7 warna. Kuda beserta pemiliknya mendapatkan nasehat dari peruwat diawali dengan mencelupkan pangkal cemeti ke dalam ember berisi air kembang. Menurut kepercayaan mereka Paguyuban Kuda Tunggang Wisata Tungga Karya, ritual Suryo Jawi ini dapat melancarkan rejeki dan memberi keselamatan bagi kuda terlebih bagi pemilik kuda.



12. Upacara Adat Bersih Desa Dalungan.
Latar Belakang
Dalungan sebenarnya adalah nama sebuah desa di Kecamatan Kebakkramat. Tepatnya Desa Dalungan, kelurahan Macanan Kecamatan Kebakkramat Kabupaten Karanganyar.
Desa Dalungan mempunyai suatu kegiatan upacara bersih desa, yang akhirnya membudaya dan tetap dilestarikan sebagai suatu tradisi masyarakat, dan akhirnya kegiatan bersih desa itu disebut Dalungan.
Upacara bersih desa ini termasuk upacara religi, diselenggarakan dengan maksud agar seluruh penduduk di wilayah desa Dalungan selalu mendapatkan berkah dari Allah SWT dan terhindar dari segala hal-hal yang bersifat tidak baik sehingga merugikan masyarakat desa, misalnya di bidang kesehatan agar masyarakat terhindar dari wabah penyakit, untuk pertanian petani bisa berhasil dalam panennya, sehingga desa Dalungan menjadi aman tentram murah sandang pangan dan sejahtera. Upacara bersih desa Dalungan sudah dilaksanakan sejak dulu kala sampai sekarang secara turun temurun, sehingga upacara bersih desa Dalungan sudah menjadi warisan leluhur yang tetap dipertahankan dan dilestarikan.
Dalam pelaksanaan upacara ritual bersih desa Dalungan selalu ditampilkan Seni Tayub dengan maksud caos sesaji kepada penunggu desa yang diyakini berada di sebuah Pundhen. Penunggu yang berada dipundhen tersebut adalah : Kyai Panjipuro dan Nyai Panjipuro serta Kyai Gendhongali. Masyarakat meyakini ketiga penunggu desa tersebut bertempat pada sebuah batu yang berbentuk Yoni (belum diketahui usianya berapa tahun).
Perunjukan Tayub sebagai sarana upacara ritual adalah Tayub yang dipertunjukkan terkait dengan ritus atau yang menyangkut dengan upacara keagamaan atau kepercayaan masyarakat.

Waktu Pelaksanaan
Upacara bersih desa Dalungan dilaksanakan setiap tahun, setiap bulan Ruwah (Kalender Jawa) pada hari Jum’at Legi. Hal ini waktu pelaksanaan tidak boleh diundur-undur atau diulur-ulur waktunya dan harus memanggil/mementaskan Ledhek Tayub. Sudah menjadi keyakinan kalau pelaksaan diulur-ulur waktunya, akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan oleh masyarakat Dalungan.


Proses Upacara
Acara bersih desa dilaksanakan pada sore hari dimulai sekitar pukul 15.00 – 17.30. setelah bancaan/kenduri , Ledhek Tayub mulai menari menghibur para roh yang berada di Pundhen selama kurang lebih 3 (tiga) sampai 5 (lima) lagu saja yang pokok. Menjelang maghrib, acara pokok selesai kemudian dilanjutkan dengan kesenian Tayub lagi tapi tempatnya pindah dari komplek Pundhen. Biasanya diperempatan desa atau tampat lain selain di Pundhen.

Tradisi Masyarakat Desa Dalungan
Pelaksanaan upacara bersih desa dengan mementaskan pertunjukan Tayub berkaitan erat dengan mitos yang berlaku dan masih diyakini oleh masyarakat desa Dalungan Kalurahan Macanan Kecamatan Kebakkramat. Mitos yang berlaku di desa Dalungan tersebut adalah bahwa penari Tayub dianggap sebagai perantara antara masyarakat desa dengan ”Dewi Kesuburan ” .
Tujuan masyarakat mengadakan upacara bersih desa agar desanya mendapatkan berkah, ketenangan lahir batin, kesehatan, murah sandang pangan lewat Dewi Kesuburan.
Melalui upacara besih desa Tayub merupakan aktifitas yang sangat penting dan harus dilaksanakan oleh masyarakat Dalungan. Apabila tidak dilaksanakan seluruh warga akan terkena akibatnya. Hal-hal negatif selalu membayangi mereka.Oleh Karena itu bersih desa Tayub harus dilaksanakan. Pandangan mereka berdasarkan keyakinan bahwa tayub dalam ritual bersih desa membawa berkah keselamatan, ketentraman, kesuburan dan keamanan desa Dalungan.
Perunjukan Tayub sebagai sarana upacara ritual adalah Tayub yang dipertunjukkan terkait dengan ritus atau yang menyangkut dengan upacara keagamaan atau kepercayaan masyarakat
Dari latar belakang dapat diketahui bahwa masyarakat Desa Dalungan sebagian besar masih percaya akan kekuatan dhanyang (roh halus penunggu) yang berada di desa dan mereka percaya bahwa upacara bersih desa yang dilakukan akan menjadikan desa Dalungan selamat dari bencana.

Kelengkapan Bersih Desa Dalungan.
Upacara bersih desa Tayub di Desa Dalungan, selain dalam penyelenggaraannya harus mementaskan Tayub, juga dilengkapi dengan sajen atau sesaji. Kesenian Tayub dan kepercayaan dapat dipadukan menjadi satu sistem upacara sebagai sarana komunikasi untuk memenuhi kebutuhan spiritual maupun material.
Selain Tayub kelengkapan bersih desa adalah sajen, yaitu segala sesuatu yang disajikan dalam upacara berupa makanan dan buah-buahan. Makanan biasanya berupa nasi uduk, lauk pauk (sambel goreng, bakmi, tahu, tempe, krupuk, rempeyek, lalapan, buah pisang dll), ingkung panggang yang semuanya merupakan seperangkat makanan untuk kenduri.Sajen tersebut dibawa ke Pundhen untuk kemudian di adakan do’a bersama.

Tayub Dalam Ritual Bersih Desa Sebagai Simbol kesuburan
Pertunjuka Tayub pada upacara bersih desa di Dalungan sangat diharapkan kehadirannya, bahkan sudah menjadi komitmen bagi maasyarakat Dalungan, warga tidak bisa menerima kehadiran tari lain kecuali tari Tayub. Masyarakat mempunyai kepercayaan bahwa penari Tayub telah berhasil membawa masyarakat Dalungan meningkat lebih baik lagi taraf kehidupannya.
Tayub sebagai lambang kesuburan tanaman, oleh para petani desa Dalungan, Tayub dipersembahkan kepada dhnyang setempat yang menempati tempat-tempat tertentu. Tempat tersebut sanngat dihormati, terbukti selalu dibersihkan secara rutin, khususnya setahun sekali setiap diadakan ritual desa dengan perlengkapan sajen.

13. Mubeng Gunung Lawu.
Tradisi mubeng Gunung dilakukan masyarakat disekitar wilayah Tawangmangu dan Ngargoyoso secara turun temurun, dengan berjalan kaki mengelilingi Gunung Lawu. Di laksanakan pada hari kesepuluh dan limabelas penaggalan Jawa pada bulan Sura. Mereka percaya dengan melakukan ritual ini keinginan dan usahanya akan berkat dari Tuhan Yang Maha Esa.

14. Labuhan Gunung Lawu.
Labuhan berasal dari kata labuh yang artinya sama dengan larung, yaitu membuang sesuatu ke dalam air (sungai atau laut). Upacara labuhan dalam hal ini berarti memberi sesaji kepada roh halus yang berkuasa di suatu tempat. Asal mula upacara labuhan pada awal masa pemerintahannya Panembahan Senopati mencoba mencari dukungan moril untuk memperkuat kedudukannya. Dukungan itu diperoleh dari Kanjeng Ratu Kidul yaitu makhluk halus penguasa laut selatan (Samudra Indonesia).
Panembahan Senopati membuat perjanjian kerjasama dengan Kanjeng Ratu Kidul yang pada intinya bahwa Kanjeng Ratu Kidul bersedia membantu segala kesulitan Panembahan Senopati. Sebagai imbalannya, Panembahan Senopati harus memberikan persembahan yang diwujudkan dalam bentuk upacara labuhan. Pada periode-periode berikutnya upacara labuhan menjadi tradisi di Kerajaan Mataram. Karena Kanjeng Ratu Kidul dipercaya hidup sepanjang masa, maka para raja Mataram pengganti Panembahan Senopati tetap melestarikan tradisi labuhan sebagai penghormatan atas ikatan perjanjian tersebut. Apabila kewajiban itu diabaikan oleh anak cucu Panembahan Senopati yang memerintah Mataram, maka menurut kepercayaan, Kanjeng Ratu Kidul akan murka sekali. Akibatnya, Kanjeng Ratu Kidul akan mengirim pasukan jin, dan semua makhluk halus untuk menyebarkan penyakit dan berbagai macam musibah yang akan menimbulkan malapetaka bagi rakyat dan kerajaan Mataram. Namun apabila anak cucu Panembahan Senopati memenuhi kewajibannya dengan melakukan labuhan di Parangkusuma pada waktu tertentu, maka Kanjeng Ratu Kidul akan senantiasa ikut membantu keselamatan rakyat dan kerajaan Mataram. Bahkan jika ada raja Mataram yang meminta bantuan kepadanya, Kanjeng Ratu Kidul dengan senang hati memberikan bantuannya. Kewajiban melaksanakan labuhan ini terus berlangsung sampai sekarang meskipun kerajaan Mataram telah terbagi menjadi dua (yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta) ketika terjadi Perjanjian Giyanti pada tahun 1755.
Empat lokasi labuhan dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa tempat-tempat tersebut pada zaman dahulu dipakai oleh raja-raja Mataram (terutama Panembahan Senopati) untuk bertapa dan berhubungan dengan roh halus. Disamping itu adanya kepercayaan bahwa setiap raja Mataram mempunyai kewajiban untuk memberikan sesaji kepada roh halus yang menunggui tempat-tempat yang mempunyai peranan penting raja-raja sebelumnya, terutama bagi raja-raja pendiri Mataram (Panembahan Senopati), karena roh-roh halus itu diangggap telah membantu pendiri dinasti tersebut dalam menegakkan kerajaan. Dengan demikian maksud dan tujuan diadakannya upacara labuhan ialah untuk keselamatan pribadi Sri Sultan, Keraton Yogyakarta dan rakyat Yogyakarta. Upacara labuhan dilaksanakan sebelum hari penobatan Sri Sultan yang sudah memimpin kerajaan, sehingga setiap pergantian raja akan terjadi pergantian jadwal upacara labuhan, karena masing-masing raja berbeda waktu penobatannya.
Labuhan Dalem, Upacara. Kata dalem disini dipakai untuk menyebut Sri Sultan. Labuhan ini disebut labuhan Dalem karena adat ini atas kehendak Sri Sultan beserta para kerabat Keraton Yogyakarta.
Upacara labuhan ini menunjukkan perbedaan antara keluarga raja dengan rakyat biasa. Karena upacara labuhan hanya boleh dilakukan oleh keluarga raja sedangkan rakyat biasa tidak berhak melakukannya. Dalam hal ini keluarga raja mempunyai kedudukan lebih tinggi dari rakyat biasa, sehingga keluarga raja bertindak sebagai wakil rakyat dan melakukan upacara labuhan demi kesemalatan rakyat seluruhnya. Sejak zaman kemerdekaan waktu penyelenggaraan upacara labuhan adalah satu hari setelah upacara tingalan dalem, namun persiapan kedua upacara tersebut dilakukan secara bersamaan.
Wiyosan Dalem, Upacara. Sama dengan tingalan dalem.
Tingalan Dalem, Upacara. Tingalan dalem atau wiyosan dalem adalah hari kelahiran Sri Sultan yang dihitung bukan berdasarkan gabungan hari dan pasaran yang setiap 35 hari (selapan dina) berulang, melainkan tanggal dan bulan kelahiran Sri Sultan menurut perhitungan tarikh Jawa (ulang tahun). Dengan demikian tingalan dalem hanya terjadi satu kali dalam setahun. Ada beberapa kegiatan untuk menyambut tingalan dalem, antara lain: membuat apem, menyiapkan logam yang terdiri dari emas, perak dan tembaga, serta menyiapkan sajian untuk sugengan plataran.
Sajen Labuhan. Sesaji untuk upacara labuhan yang dibuat secara bersama-sama dengan sajian untuk sugengan plataran. Sajian ini dibuat oleh kedua pawon keraton Yogyakarta yaitu pawon Sakalanggen (dapur sebelah timur) dan pawon Gebulen (dapur sebelah barat). Sesaji tersebut terdiri dari: sanggan, tukon pasar, pala gumantung, pala kependhem dan pala kasimpar.
Tepat pada hari tingalan dalem, kawedanan Ageng Punakawan Widya Budaya menyiapkan barang-barang yang akan dilabuh dan mengatur barang-barang tersebut menjadi tiga bagian pada saat labuhan alit atau empat bagian pada saat labuhan ageng. Masing-masing bagian benda labuhan itu dimasukkan ke dalam kotak kayu kecil yang tertutup. Antara tempat yang satu dengan yang lain, jenis benda yang dilabuh tidak sama, hal ini disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu untuk memudahkan agar tidak terjadi kekeliruan maka petugas Widya Budaya harus memberi tanda khusus pada masing-masing kotak. Semua kotak tersebut bersama-sama dengan benda labuhan yang lain disimpan di bangsal Sri Manganti, dan diinapkan satu malam hingga keesokan harinya saat pelepasan upacara labuhan.
Benda-benda yang dilabuh antara lain :
- Potongan kuku (kenaka) dari Sri Sultan yang dikumpulkan selama satu tahun.
- Potongan rambut (rikma) dari Sri Sultan yang dikumpulkan selama satu tahun
- Beberapa potong pakaian bekas milik Sri Sultan
- Benda bekas milik Sri Sultan yang berujud payung (songsong)
- Layon sekar, yaitu sejumlah bunga yang telah layu dan kering, dari bekas bunga sesaji pusaka-pusaka keraton yang dikumpulkan selama satu tahun
- Sejumlah barang yang sebagian besar terdiri dari kain.
Labuhan Ageng. Upacara yang bertepatan dengan tahun Dal. Jadi labuhan ageng hanya dilakukan sekali dalam delapan tahun (satu windu). Jika dalam satu tahun sudah dilakukan labuhan ageng, maka untuk tahun tersebut labuhan alit ditiadakan. Pada saat labuhan ageng ini benda-benda yang dilabuh dibagi menjadi empat bagian untuk dilabuh di empat tempat yang berbeda, yaitu di Parangkusuma, Gunung Merapi, Gunung Lawu, dan Dlepih Kahyangan. Khusus labuhan ageng untuk Gunung Lawu, barang yang dilabuh ditambah dengan sebuah payung yang disebut songsong pethak seret praos. Payung tersebut warnanya sebagian putih dan pada bagian lainnya berwarna keemasan.
Labuhan Alit. Upacara labuhan yang dilakukan di luar tahun Dal, sehingga pelaksanaannya setiap setahun sekali. Namun jika dalam satu tahun sudah dilakukan labuhan ageng, maka untuk tahun tersebut labuhan alit ditiadakan. Pada saat labuhan alit, benda-benda yang dilabuh dibagi menjadi tiga bagian saja, untuk dilabuh di tiga lokasi labuhan, yaitu Parangkusumo, Gunung Merapi, dan Gunung Lawu.




15. Upacara Adat Cembengan (Giling Tebu).
Grebeg Giling merupakan upacara tradisi sebelum dimulainya Giling tebu. Grebeg Giling yang lebih dikenal di daerah dengan sebutan Cembengan bisa dikatakan sebagai pesta rakyat dengan penyelenggaranya adalah Pabrik Gula.
“Cembengan” PG Tasik Madu Berbeda dengan PG Semboro Jember Jawa Timur dan PG Jatibarang, Brebes, Jawa Tengah, PG Tasikmadu, Karanganyar Jawa Tengah, menyebut prosesi awal “pesta kebun tebu” ini dengan istilah Cembengan. Upacara Cembengan semula hanya merupakan upacara ritual yang dilakukan oleh para pekerja di dalam PG untuk meminta keselamatan dan hasil produksi yang baik.
Namun perkembanganya telah berubah menjadi pesta rakyat bagi masyarakat sekitar pabrik. Keramaian selama perayaan Cembengan menyerupai pasar malam yang berlangsung antara satu hingga dua pekan. Puluhan pedagang mainan, pakaian, dan makanan menggelar dagangannya, baik di sekitar pabrik hingga ke halaman dalam pabrik. Berbagai jajan tradisional seperti es dawet, brondong jagung, arum manis, komedi putar, hingga pentas dangdut membuat Cembengan selalu menimbulkan kemeriahan yang melegakan. Pada hari-hari seperti ini, citra pabrik yang biasanya angker untuk sementara tersingkir. Antara karyawan dan warga masyarakat sesaat membaur. Sayangnya, upacara Cembengan dan segenap nilai budaya lama yang mendukung keberadaan industri PG di Jawa itu kini telah mulai memudar seiring kemajuan jaman di satu sisi, dan mulai hilangnya kepercayaan terhadap satu sub sektor perekonomian yang lebih dari satu abad dianggap menjadi sumber penghidupan oleh sekian banyak orang.
Menurut sejarahwan Drs Soedharmono SU dari Universitas Sebelas Maret Solo, ritual Cembengan sebenarnya merupakan adopsi dari tradisi Cina, Cing Bing. Yaitu tradisi ziarah ke makam leluhur menjelang suatu karya besar. Masyarakat keturunan Cina yang bermukim di pantura (pantai utara) Jawa yang mengenal teknologi pembuatan gula tebu ini pada masa lalu selalu melakukan upacara Cing Bing sebelum memproduksi gula. Ritual Cembengan di PG Tasikmadu juga didahului ziarah ke makam-makam pendiri Praja Mangkunegaran di tujuh lokasi. Upacara Grebeg Giling puncaknya dilaksanakan pada hari Jum;at Wage (kalender jawa) Di¬awali dengan penebangan dua batang tebu temanten (pe¬ngantin) yang akan dijadikan tebu pertama pada saat giling perdana esok harinya. Petangnya dilanjutkan dengan ritual untuk meletakkan sesaji di lokasi mesin-mesin produksi yang dianggap vital. Sesaji itu diletakkan di dalam jodang-jodang yang dihias dengan kertas. Isinya jenang, gecok bakar, telur asin, kinangan, tumpeng, ketupat, dan sebagainya.
Dalam ritual itu, sembilan ekor kerbau dipotong dan kepalanya ditaruh di bagian-bagian mesin yang dianggap vital. Upacara yang disertai doa memohon keselamatan biasanya dipimpin langsung Administratur PG. Rangkaian upacara ritual itu dilakukan dengan khidmat, serta melibatkan kalangan santri yang membawakan doa keselamatan. Esok harinya, mengawali giling perdana, dilakukan prosesi bagi tebu temanten berikut tebu pengiring. Ada perlakuan khusus bagi tebu-tebu tersebut. Selain batang tebunya dipilih yang paling baik dan memiliki rendemen tinggi, tebu temanten didandani layaknya pengantin dan mengenakan topeng Dewi Sri dan Dewa Sadana yang melambangkan kepercayaan masyarakat agraris.
PG Tasikmadu sekitar 15 kilometer arah timur Kota Solo, adalah PG kedua setelah PG Colomadu (1860), yang dibangun oleh pribumi yakni KGPAA Mangkoenagoro (MN) IV pada 11 Juni 1871. MN IV adalah seorang Adipati dari Pura Mangkunegaran yang terkenal sebagai pujangga, sekaligus cendekiawan yang memiliki pandangan jauh ke depan. PG Colomadu (ditutup tahun 1997) dan PG Tasikmadu merupakan monumen hasil karya MN IV yang merefleksikan kecendekiawanan MN IV yang mumpuni (unggul) pada jamannya. Itu menunjukkan bahwa ia seorang ilmuwan yang menguasai berbagai masalah secara komprehensif. Pembangunan PG ini, MN IV memiliki perhitungan yang amat matang. Hal itu terlihat dari posisi Waduk Delingan dekat PG Tasikmadu, dan Waduk Cengklik untuk kebutuhan PG Colomadu sengaja dibangun sebagai sumber air yang memberi pengairan kepada area tanaman tebu kedua PG, sehingga memberi dukungan bagi PG. MN IV pun amat memperhatikan pelestarian hutan di sekitar waduk. Di samping untuk mencegah erosi, juga terjadi resapan air. Selain itu, ia membuat jaringan irigasi pengairan, bendung-bendung sungai, jalan untuk transportasi, serta jaringan rel kereta lori pengangkut tebu. Dengan membuat jalur-jalur transportasi itu, selain untuk kepentingan pengangkutan hasil produk, jaringan transportasi juga sampai ke pelosok desa, sehingga PG menjadi sentra kegiatan ekonomi pada waktu itu. PG Tasikmadu merupakan aset ekonomi dan aset budaya yang tak ternilai.
Makna Filosofis Cembengan
Sekilas pesta Cembegan hanya merupakan bentuk perayaan. Namun apabila kita cermati, sebenarnya mengandung filosofi yang mendalam dan keberadaanya telah mendarah daging di masyarakat. Pertama, merupakan manifestasi rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, apa pun varian cara yang dilakukan, menurut keyakinan masing-masing. Rasa syukur perlu dikedepankan mengingat kerja kerasnya telah dikaruniai keberhasilan dan sebentar lagi akan melakukan panen. Oleh karena itu, agar mencapai finishing touch (proses akhir) berupa giling tebu dan hasilnya bisa diuangkan secara maksimal, maka dilakukanlah doa agar berjalan dengan sukses. Kedua, merupakan ilustrasi terkabulnya harapandan penantian panjang selama setahun bekerja keras. Cembegan merupakan kristalisasi keceriaan bahwa kerja kerasnya sudah hampir bisa dinikmati.
Cembegan juga merupakan obat penawar atas keluh kesah petani yang selama proses penanaman dan perawatan mengalami kesulitan modal, pupuk, dan bibit serta ancaman hama. Semua keluh kesah itu terhapus oleh munculnya harapan baru. Ketiga, merupakan bentuk keberlangsungan roda kehidupan, karena hasil panen itu telah dinantikan untuk melangsungkan hidupnya, membiayai anak-anak dan keluarganya, merupakan pintu untuk meraih cita-cita dalam hidupnya. Sebuah kebanggaan bisa membahagiakan keluarga. Maka pesta kebun tebu merupakan terwujudnya “janji” keluarga yang telah dinantikan selama setahun. Keempat, pesta kebun tebu merupakan tanda bergeraknya roda ekonomi masyarakat. Hidup menjadi dinamis dan berdampak pada banyak sektor ekonomi rakyat. Pedagang, usaha angkutan, petani, dan karyawan PG beserta keluarganya.

16. Upacara Adat Odalan.
Piodalan ”Pura Pemacekan” atau ”Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan & Parhyangan Sapta Pandita” dilaksanakan pada Purnama Katiga (setiap setahun sekali). Panitia terdiri dari umat Hindu setempat baik umat Bali maupun umat Hindu suku Jawa, juga melibatkan penduduk disekitar Pura (non Hindu) yang sangat menghormati beliau yang distanakan di Petilasan, dengan menyerahkan Parkir kepada Karang Taruna, penginapan, dan membuka warung makan/minum pada ibu-ibu, jadi manfaat secara ekonomis juga diperoleh karena seharusnya konsep Pura secara horizontal adalah agar memberi manfaat kepada masyarakat sekitar serta para damuh. Proses sudah dimulai dengan : Rapat-rapat Panitia yang terdiri umat Pengempon serta umat Hindu dilereng Gunung Lawu (Ngargoyoso, Kemuning, Jenawi, Karanganyar kota, Masaran, dan Solo sekitar) dimana banyak juga mereka adalah pejabat di kepolisian, guru, pegawai suasta, dan lain-lain dengan semangat Ngayah berbaur bersama dengan baiknya.
Untuk tahun ini dimulai Tanggal 21 Agustus 2010 Mepiuning, 22 Agustus 2010 Nuwur Tirta di candi Ceto, 23 Agustus 2010 persembahyangan di Beji (Taman) sekaligus Plaspas ”Reog Singo Pasek” dimana Reog ini inisiatif penduduk setempat. Puncak piodalan pada pagi hari 24 Agustus 2010 ”Puja Piodalan” pada pagi hari sekitar pukul 07 wib dihaturkan oleh : 6 (Enam) Pandita sebagian besar dari Jembrana, prosesi dengan Banten yang sederhana dihaturkan dengan baik oleh Pemangku, sarati Banten, dan mengajak umat Jawa ikut terlibat semuanya dibawah komando Pandita yang Muput. Setelah Puja Piodalan selesai, dilanjutkan dengan Puja Tri Sandhya dan Kramaning sembah, terakhir Nunas Wangsuhpada (Tirta). Sebelum bubar disampaikan sambutan : Ketua Panitia-Made Sabaryasa, Ketua Pengempon-Ketut Landra, PHDI Karanganyar diwakili WK I Bid.Tata Agama Jero Mangku Made Murti dan darmawacana oleh Jero Mangku Pasek Suastika, dengan Pembawa Acara Jero Mangku Nyoman Sukadana. Acara berjalan dengan lancar dan umat yang hadir dari Puncak Piodalan sampai Nyineb (Penutupan) sangat banyak dan secara beruntun rombongan demi rombonggan hadir mengiringi Para Pandita. Total Pandita yang hadir lebih dari 20 (dua puluh) Pandita.
Piodalan ini seperti biasa berlangsung (Nyejer) tiga hari dan Persembahyangan terakhir berupa ”Nyineb” dilakukan pada 27 Oktober 2010 pagi sekitar jam 07 dipuput oleh : 4 (empat) Pandita Mpu dari Gria : Braban-Denpasar, Nusa-Klungkung, Mengwi-Tabanan, dan Tukad Mungga Singaraja. Belajar tidak hanya minta ”ANUGRAH” Darmawacana oleh Jero Mangku Pasek Suastika yang cukup singkat namun banyak hal-hal positif yang bisa dipetik, seperti : umat yang datang ke Pura apalagi sampai jauh datang ke Jawa untuk menghaturkan bhakti tentu akan lebih baik jika diwujudkan dalam kegiatan yang nyata. Jika setiap doa tidak pernah lupa memohon ”anugrah” kepada Hyang Widhi dan Bhatara Kawitan, maka sudah waktunya kita melakukan ”Karma Marga” lewat Punia baik Jnana Punia maupun Punia harta serta tenaga untuk menyempurnakan bhakti kita. Seperti diketahui, saat ini Pura Pemacekan sedang membangun ”Pasraman Sulinggih”, maka bentuk bhakti berupa dana punia sangat dibutuhkan untuk melengkapi sarana dan prasarana Pura pemacekan mengingat para Pandita perlu kita tempatkan pada tempat yang layak dan terhormat, serta nyaman mengingat mereka banyak yang sudah sepuh. Penghormatan kepada Pandita juga merupakan wujud ”Rsi Yadnya” dimana aktifitas yadnya ini tidak sekuat ”Dewa Yadnya” juga ”Pitra Yadnya”.
Disinggung juga oleh pen-darmawacana, sarana upacara berupa ”Upakara/bebantenan” yang saat ini masih dibawa dari bali diharapkan kedepan bisa disiapkan dari umat di jawa dengan tidak mengabaikan local genius (kebiasaan setempat) mengingat Pura Pemacekan berada di Jawa. Untuk hal ini memang masih dalam proses mengingat di Jawa sendiri banyak upakara lokal yang perlu dikaji secara dasar Tattwa Weda sehingga dapat dikombinasikan dengan upakara yang sudah biasa dilakukan di Bali, contoh saja ”Taman Pulo Gembal” tingkatan upakara piodalan yang intinya sebenarnya mempersembahkan seisi hasil alam sehingga berupa ”Taman” sebagai wujud bhakti pada Ibu Pertiwi (Durga), maka di Jawa juga ada Gunukan berupa tumpengan dengan segala hasil buminya. Untuk hal ini sedang di-wacanakan untuk mengadakan darma-tula antara Pinandita umat Jawa serta sesepuh umat untuk diskusi dipimpin oleh Pandita sehingga kedepan dapat diperoleh Format Upakara yang mengandung Local Genius (budaya setempat) tetapi mempunyai landasan Tattwa Weda / sastra agama. PHDI Karanganyar seperti disampaikan oleh WK I Bid.Tata Agama akan siap menjadi penggeraknya. Akhirnya apapun yang kita persembahkan kehadapan Hyang Widhi itu hanyalah bentuk bhakti dan ucapan terima-kasih kita atas apa yang telah kita peroleh dari Beliau, manusia tidak boleh hanya menerima anugrah saja, namun perlu punya rasa syukur dan ber-terima kasih melalui mempersembahkan kembali apa yang sudah kita peroleh sehingga : Yang memperoleh anugrah harta lakukan Punia, yang berhasil dalam pertanian/perkebunan haturkan hasil bumi, yang memperoleh pengetahuan (Jnana) lakukan Jnana Punia untuk kemajuan umat, yang memperoleh anugrah seni, maka ngayah dengan menabuh & menari, yang memperoleh kesehatan maka haturkan dengan tenaga, dan banyak bentuk rasa syukur kita akan anugrah Hyang Widhi.

17. Hari Saraswati.
Saraswati dalah hari raya untuk memuja Sang Hyang Widhi dalam kekuatannya menciptakan ilmu pengetahuan dan ilmu kesucian yang dirayakan setiap enam bulan sekali. Kekuatan spiritual Sang Hyang Widhi dilambangkan dengan Seorang Dewi yang membawa alat musik Genitri, pustaka suci, teratai serta duduk diatas angsa.
Komplek pertamanan yang dibangun di lereng perbukitan berada ditengah hutan pinus sebagai arena meditasi dan upacara ritual bagi masyarakat Hindu setempat dalam memuja dan mengagungkan Sang Pencipta dan Sang Penguasa alam semesta.

18. Pancawalikrama Spektakuler Prosesi Candi Ceto
Menurut kepercayaan masyarakat Hindu, candi Ceto merupakan Khayangan Jagat Nusantara, selain itu candi Ceto juga dikatakan sebagai Besakhih pertama. Pada bulan Juli tahun 2007 lalu dengan diprakarsai oleh masyarakat Bali, diadakan upacara keselamatan dan Kerahajengan Nusantara di Candi Ceto. Selain itu ada upacara memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dinamai Prosesi Budaya Menghadap Jagad dan Jaman Prosesi ini dilaksanakan setiap 35 hari sekali, jatuh pada setiap malam Jum’at Legi.
Sejak dilaksanakannya upacara “KARYA AGUNG NUSANTARA NGETEG LINGGIH TAWUR AGUNG LABUH GENTUH CANDI CETO GUNUNG LAWU” pada tanggal 17 Juli tahun 2007, popularitas Candi Ceto semakin melambung.
Mengapa kegiatan tersebut dilaksanakan di Candi Ceto ? menurut para pakar spiritual menyatakan bahwa Candi Ceto merupakan tempat tertinggi di Jawa ini, sehingga diyakini oleh sebagian masyarakat Jawa bahwa Candi Ceto menyimpan banyak misteri peninggalan kebesaran Raja Majapahit terakhir , serta merupakan tempat memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa melalui laku tirakat dan meditasi dalam memperoleh wahyu Nusantara sebagai sosok seorang pemimpin.
Di Candi Ceto terdapat pahatan Phallus dan Vulva yang merupakan konsep Hindu atau Siwa Tantra, yaitu ajaran maithuna sebagai bagian ajaran ”panca ma” dengan konsep kebudayaan Megalitik.
Adapun ajaran maithuna adalah ajaran untuk memperoleh kekuatan internal melalui penyatuan unsur positif purusan (phallus) dengan unsur negatif pradana (vulva) untuk mencapai Jivan Mokta (simbul kesuburan dan penyatuan abadi).
Unsur Megalitik adalah pemujaan terhadap arwah nenek moyang melalui Penggambaran bentuk dan vulva secara natural. Oleh karena itu makna simbolik dari pahatan yang ada di Candi Ceto bertema Kesuburan, Kesejahteraan dan Perlindungan. Phallus dan Vulva mempunyai fungsi internal yaitu sebagai media pelaksana upacara diksa dihadapan leluhur dan Dewa Siwa mencapai Jivan Mokta. Sedangkan fungsi eksternal adalah pemujaan dalam memohon kesuburan, kesejahteraan, kebahagiaan dan perlindungan.

D. TEMPAT-TEMPAT SPIRITUAL DAN BERSEJARAH
1. Astana Magadeg.
Terletak di atas bukit di desa Girilayu Kecamatan Matesih merupakan makam raja-raka dari Mangkunegaran Surakarta. Raja-raja yang dimakamkan di astana Mangadeg adalah Raja Mangkunegaran I atau yang terkenal dengan nama Raden Mas Said atau Pangeran Samber Nyawa yang mempunyai kesaktian luar biasa, dan pada masa pemerintahannya sangat gigih melawan penjajah Belanda. Selain itu Raja Mangkunegara II dan Raja Mangkunegara III serta kerabat-kerabat raja.
Tempat ini juga masih disakralkan terutama oleh masyarakat umum yang masih memiliki hubungan dengan Pura Mangkunegaran. Khusus bagi pengunjung wanita apabila melakukan ziarah harus mengenakan kain yang telah disediakan oleh pengelola makan.

2. Astana Girilayu.
Astana Girilayu terletak tidak jauh dari Astana Magadeg juga merupakan komplek pemakaman Raja-raja Mangkunegaran. Yang di makamkan di Astana Girilayu adalah Raja Mangkunegara IV, Mangkunegara V, Mangkunegara VII dan Raja Mangkunegara VIII serta kerabat – kerabat yang lain.
Yang unik dari makan ini adalah bangunan makan Raja Mangkunegara IV dan keluarga. Bangunan makan terbuat dari baja berwarna silver di bangun sekitar tahun 1880 sebelum Mangkunegara IV meninggal dunia. Tempat ini sampai sekarang masih banyak dikunjungi oleh para peziarah baik dari dalam maupun luar kota Karanganyar.

3. Astana Giribangun.
Astana Giribangun adalah sebuah museum bagi keluarga mantan presiden Indonesia ke-2, Suharto. yang saat ini di gunakan sebagai tempat berziarah & melakukan wisata. Astana Giri Bangun dibangun pada tahun 1974 oleh Yayasan Mangadeg Surakarta, dan diresmikan penggunaannya para tahun 1976. Peresmian itu ditandai dengan pemindahan sisa jenazah Soemaharjomo (ayahanda Tien Soharto) dan Siti Hartini Oudang (kakak tertua Ibu Tien), yang keduanya sebelumnya dimakamkan di Makam Utoroloyo, salah satu makam keluarga besar keturunan Mangkunegaran yang berada di Kota Solo. Makam ini dibangun di atas sebuah bukit, tepat di bawah Astana Mangadeg, komplek pemakaman para penguasa Mangkunegaran, salah satu pecahan Kesultanan Mataram. Astana Mangadeg berada di ketinggian 750 meter dpl, sedangkan Giribangun pada 666 meter dpl. Di Astana Mangadeg dimakamkan Mangkunegara (MN) I alias Pangeran Sambernyawa, MN II, dan MN III. Pemilihan posisi berada di bawah Mangadeg itu bukan tanpa alasan, untuk tetap menghormat para penguasa Mangkunegaran, mengingat Ibu Tien Soeharto adalah keturunan Mangkunegoro III. Komplek makam ini memiliki tiga tingkatan cungkup (bangunan makam): cungkup Argo Sari teletak di tengah-tengah dan paling tinggi, di bawahnya, terdapat cungkup Argo Kembang, dan paling bawah adalah cungkup Argo Tuwuh.
Argo Sari.
Makam yang luas itu terdiri dari beberapa bagian. Di antaranya adalah bagian utama yang disebut Cungkup Argosari yang berada di dalam ruangan tengah seluas 81 meter persegi dengan dilindungi cungkup berupa rumah bentuk joglo gaya Surakarta beratap sirap. Dinding rumah terbuat dari kayu berukir gaya Surakarta, dan Di ruangan ini hanya direncanakan untuk lima makam. Saat ini paling barat adalah makam Siti Hartini, di tengah terdapat makam pasangan Soemarharjomo (ayah dan ibu Tien) dan paling timur adalah makam Ibu Tien Soeharto. Tepat di sebelah barat makam Ibu Tien terdapat makam Soeharto, Masih di bagian Argosari, tepatnya di emperan cungkup seluas 243 meter persegi, terdapat tempat yang direncanakan untuk makam 12 badan.
Argo Kembang.
Bagian yang berada di luar lokasi utama adalah Cungkup Argokembang seluas 567 meter persegi. Tempat ini tersedia tempat bagi 116 badan. Yang dapat dimakamkan di lokasi itu adalah para pengurus pleno dan seksi Yayasan Mangadeg ataupun keluarga besar Mangkunegaran lainnya yang dianggap berjasa kepada yayasan yang mengajukan permohonan untuk dimakamkan di astana tersebut.
Argo Tuwuh.
Paling luar adalah Cungkup Argotuwuh seluas 729 meter persegi. Tempat ini tersedia tempat bagi 156 badan. Seperti halnya Cungkup Argo Kembang, yang berhak dimakamkan di lokasi itu adalah para pengurus Yayasan Mangadeg ataupun keluarga besar Mangkunegaran lainnya yang mengajukan permohonan.
Pintu utama Astana Giribangun terletak di sisi utara. Sisi selatan berbatasan langsung di jurang yang di bawahnya mengalir Kali Samin yang berkelok-kelok indah dipandang dari areal makam. Terdapat pula pintu di bagian timur kompleks makam yang langsung mengakses ke Astana Mangadeg.
Selain bangunan untuk pemakaman, terdapat sembilan bangunan pendukung lainnya. Di antaranya adalah masjid, rumah tempat peristirahatan bagi keluarga Soeharto jika berziarah, kamar mandi bagi peziarah utama, tandon air, gapura utama, dua tempat tunggu atau tempat istirahat bagi para wisatawan, rumah jaga dan tempat parkir khusus bagi mobil keluarga
Di bagian bawah, terdapat ruang parkir yang sangat luas. Di masa Soeharto berkuasa, di areal ini terdapat puluhan kios pedagang yang berjualan suvenir maupun makanan untuk melayani peziarah dan wisatawan. Namun kini di tempat itu tidak diizinkan lagi menjadi tempat berjualan dengan alasan keamanan dan ketenangan.

4. Pertapaan Pringgondani.
Di antara banyak petilasan di Gunung Lawu, ada satu yang akrab di keseharian penduduk Tawangmangu, yakni Pringgondani atau Pringgodani, pertapaan nun jauh di atas gunung.
Ke Pringgondani masyarakat datang untuk memperoleh kekuatan sekaligus dukungan atas upaya yang sedang mereka lakukan. “Tidak untuk meminta. Kalau kita sudah punya, tapi hanya sedikit, dan berusaha supaya punya lebih banyak, datang ke sana,” demikian kira-kira yang bisa di ucapkan dari pendapat para pengunjung. Letak Pringgondani di Kelurahan Blumbang, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar. Hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki. Hanya butuh waktu setengah jam berjalan kaki dari lokasi parkir sepeda motor, untuk mencapai Pringgondani. Tak terbayang bagaimana dinginnya.
Dorongan keingintahuan membawa kami melepaskan diri dari antaran ojek yang luar biasa memudahkan untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Lawu, dan kali ini hanya berjalan kaki. Awalnya jalanan masih datar, melewati kebun kol dan kebun cabe rawit. Di tiga perempat tinggi gunung terlihat dua air terjun kecil. Lantas mulailah “tanjakan-tanjakan kesabaran”, berkelok-kelok di antara pohon-pohon pinus, menyusuri lekuk gunung. Melewati pohon yang melengkung membentuk gerbang, tapi tak dijumpai ranting-rantingnya. Hanya batang pohon tertancap, ujung satu di tanah, batangnya melengkung, lantas ujung lainnya menancap di dinding gunung. Ada aroma hio yang kuat tapi tak ditemukan di mana hionya.
Hal yang biasa jika peziarah menginap di petilasan. Umumnya semalam. Ada ruangan di samping sanggar, tersedia buat yang menginap. Tak ditarik bayaran, kecuali sekadar pengganti biaya makan yang sepenuhnya ditanggung warung.
Pringgondani bukanlah tempat ibadah agama tertentu. Di masa lalu, di sini pernah hidup tokoh spiritual yang dikeramatkan masyarakat, Eyang Panembahan Kotjo Nagoro (kadang ditulis Ki Ageng Kaca Negara). Masyarakat meyakini Eyang Kaca tak lain adalah Raden Brawijaya, raja terakhir Majapahit, yang memindahkan kerajaannya ke Gunung Lawu setelah Majapahit dikuasai puteranya, Raden Patah. Ada keyakinan unik, yaitu selama berada di petilasan, tidak boleh bercerita mengenai sejarah Pringgondani dan siapa Eyang Kaca, sebutan hormat warga Lawu bagi Ki Ageng Kaca Negara. Pamali. Petugas petilasan Pringgondani mengatakan, “Kalau di sini, tidak boleh bercerita. Kalau sudah di bawah, baru boleh.”
Petilasan ini berupa rumah ukuran 5 meter x 5 meter yang disebut sanggar. Di terasnya terdapat empat arca prajurit sedang duduk dengan sikap-sikap Buddha. Di dalamnya ada altar bertuliskan “Eyang Panembahan Kotjo Nagoro”. Tertancap payung di atas altar. Di depan altar terdapat bokor untuk menancapkan hio dan anglo. Altar inilah pusat kegiatan di Pringgondani, tempat orang menjalani laku prihatin dan bertapa. Setiap hari selalu ada yang datang, kata Lina, namun Pringgondani paling ramai dikunjungi pada malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Sedangkan pada bulan Suro, tempat ini penuh selama sebulan. Sebagai rangkaian laku prihatin adalah berendam di Sendang Gedang, Sendang Temanten, Sendang Kauripan yang letaknya tak jauh dari Pringgondani, dan suhu airnya mencapai 10 derajat Celsius. Tempat yang jauh untuk dijangkau, jalur menanjak yang menguras banyak tenaga, serta suhu dingin, mutlaklah syarat agar datang dalam kondisi tubuh prima.

5. Pertapaan Bancolono.
Sebelum ada pertapaan, kedatangan masyarakat ke Bancolono yang terletak di perbatasan Tawangmangu-Magetan (Jatim) itu hanya untuk mandi atau mengambil air sendang. Bukan untuk bertapa.
Air sendang itu diyakini pernah digunakan untuk minum dan mandi Prabu Brawijawa V, dinasti terakhir Raja Majapahit ketika melarikan diri di puncak Gunung Lawu sebelum muksa (mati tanpa meninggalkan jasad) pada abad XV. Air itu diyakini masih sakti dan bertuah hingga sekarang. Jadi kalau sekarang ada orang bertapa di Bancolono, pasti akan menyempatkan diri minum atau cuci muka (atau mandi) dengan air sendang.
Pembangunan pertapaan pada 1989 itu, dilakukan oleh orang-orang yang merasa dikabulkan permintaannya. Mereka yang dikabulkan itu tidak hanya membangun tempat pertapaan, tapi juga memperbaiki jalan setapak dari jalan raya menuju lokasi dengan cara memberi paving. Setelah dibangun pada 1989, pada 1996 pertapaan itu direnovasi.
Kemashuran pertapaan keramat yang terletak di bagian hampir puncak Gunung Lawu, di ketinggian 1.300 meter di atas permukaan air laut, itu tidak lepas dari adanya sendang atau sumber air. Yaitu Sendang Putri dan Sendang Lanang, atau yang disebut Sendang Bancolono.
Tidak hanya orang sakit yang datang minta kesembuhan. Tidak hanya perjaka dan perawan tua yang datang meminta jodoh. Akan tetapi juga para pejabat tinggi, orang mapan dan sehat yang datang untuk mendapat kelebihan dari apa yang mereka miliki selama ini. Mengejar tuah Brawijawa V, dinasti terakhir Raja Majapahit yang dikabarkan hilang di tempat itu dalam mitologi.
Dengan kedatangan tokoh-tokoh nasional yang sekarang menjadi sorotan, sudah cukup membuktikan kemasyuran pertapaan yang dikeramatkan masyarakat sekitar itu. Terlepas setelah kedatangan mereka, apakah bisa mendapatkan apa yang mereka minta atau tidak.

6. Pura Pamacekan.
Bagi yang memiliki minat dan ketertarikan berwisata spiritual Tirta Yatra, yaitu melakukan perjalanan napak tilas persembahyangan mengunjungi pura-pura, baik yang berada di daratan pulau bali ataupun di nusantara, pastilah mengenal Pura Patilesan (peristirahatan) Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan, yang lebih di kenal sebagai Pura Pasek dan merupakan induk dari Pura Pasek yang ada di daratan Bali. Pura ini terletak di desa Pasekan Kecamatan Karangpandan Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah, Indonesia. Kira-kira 35 km sebelah timur kota Solo, satu jam perjalanan ditempuh dengan kendaraan. Letaknya yang tidak jauh dari obyek wisata Tawangmangu, di kaki gunung Lawu membuat pura Pemacekan yang dikelilingi alam nan hijau menjadi semakin sejuk. Menengok kembali sejarah jaman dulu, pada awalnya bangunan ini memang merupakan tempat peribadatan umat Hindu yang berupa punden atau candi atau pura. Sebagaimana masyarakat Jawa pada zaman dulu memang banyak sekali penganut Hindu, tak terkecuali di wilayah Karangpandan ini. Hal ini terbukti ditemukannya bangunan Hindu di daerah sekitar tak jauh dari pura Pemacekan semisal Candi Sukuh, Candi Cetho, dll. Namun seiring berjalannya waktu, dengan terjadinya akulturasi kebudayaan antara penganut agama lain, penganut Hindu di sekitar pura menjadi semakin sedikit, meski dalam catatan sejarah, bangunan yang memiliki dominasi warna kuning dan merah ini pernah di bangun menjadi lebih megah dan mewah pada masa Pakoe Boewono XII.
Keterlibatan raja dari Keraton Surakarta dalam pembangunan kembali Pura Pemacekan (Pura Pasek) ini adalah cukup beralasan, karena bila di lihat dari silsilah vertikal raja-raja yang yang terpampang di dinding bangunan Pura Pemacekan itu, di mulai dari kerajaan Singosari dimasa pemerintahan Ken Arok hingga raja Surakarta yang sekarang adalah masih memiliki ikatan darah persaudaraan dengan Ki Ageng Pasek atau di kenal dengan nama Pangeran Arya Kusuma ini karena merupakan salah seorang menantu Pangeran Brawijaya V (raja terakhir dari kerajaan Majapahit), yang patilesannya terdapat di dalam bangunan Pura Pasek ini. Ki Ageng Pasek yang dikenal sebagai Arya Kusuma juga adalah seorang senopati kerajaan yang memiliki keahlian khusus, penunggang kuda saat berperang. Hingga meninggalnya dan kemudian dimakamkan di desa Pasek, Kecamatan Karangpandan, kabupaten Karanganyar, yang saat ini tepat di petilesannya didirikan Pura Pemacekan (Pura Pasek).

7. Astana Randu Songgo
Astana Randu Songgo merupakan tempat peristirahatan terakhir Rangga Panambang, beliau adalah tangan kanan dari Mangkunegara I atau dikenal dengan Pangeran Samber Nyawa. Terletak di desa Gaum Tasikmadu. Ditempat ini banyak di kunjungi oleh para peziarah untuk melakukan wisata spiritual dengan bersemedi ataupun meditasi. Seperti tempat lain di Astana Randu Songgo juga dilaksanakan upacara ritual pada hari tertentu pada perhitungan penanggalan tahun jawa

8. Jabalkanil
Terletak diatas bukit merupakan tempat petilasan Syeh Maulana Mahgirbi. Di lokasi ini bisa di jumpai bangunan masjid kuno bertiang (bersaka) kayu jati yang sudah berusia ratusan tahun. Disisi lain juga terdapat Bedug Kuno yang dipercaya oleh masyarakat sekitar memiliki keistimewaan sendiri tanpa di pukul bedug ini pada saat saat tertentu bisa berbunyi sendiri. Para peziarah yang biasa berkunjung tidak hanya dari dalam tetapi juga dari luar kota Karanganyar.

9. Puncak Lawu.
Gunung Lawu terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Puncak tertinggi gunung Lawu (Puncak Argo Dumilah) berada pada ketingggian 3.265 m dpl. Kompleks Gunung Lawu ini memiliki luas 400 KM2 dengan Kawah Candradimuka yang masih sering mengeluarkan uap air panas dan bau belerang.Terdapat dua buah Kawah tua di dekat puncak Gunung Lawu yakni Kawah Telaga Kuning and Kawah Telaga Lembung Selayur. Banyak sekali tempat-tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat sehingga tidak hanya anak muda, tetapi banyak orang tua yang mendaki gunung Lawu untuk berjiarah. Masyarakat Jawa percaya bahwa puncak gunung Lawu dahulunya adalah merupakan kerajaan yang pertama kali di pulau Jawa. Gunung Lawu ini sangat berarti bagi Masyarakat Jawa terutama mereka yang masih percaya dengan Dunia Gaib. Pernah suatu ketika tempat-tempat keramat di Gunung Lawu ini diobrak-abrik oleh orang-orang yang tidak menyukainya, namun mereka mengalami celaka bahkan mati mengenaskan. Untuk itu bagi para pendaki yang tidak percaya dengan tempat-tempat keramat di gunung Lawu, harap tetap menghargai kepercayaan masyarakat setempat, agar terhindar dari malapetaka.
Ada dua tujuan utama para wisatawan mengunjungi obyek wisata Puncak Lawu, yaitu :
1. Menikmati keindahan alam berupa hutan dengan flora dan fauna yang khas, udara yang bersih dan sejuk serta pemandangan alam yang sangat indah.
2. Melakukan wisata ritual, karena pada kawasan tersebut terdapat banyak sekali tempat/petilasan Raja Brawijaya V beserta pengikutnya, dan saat ini menjadi tempat melaksanakan ritual bagi para wisatawan.
Berkaitan dengan wisata minat khusus (ritual) di kawasan Puncak Lawu, kegiatan tersebut dilaksanakan hampir setiap saat dan akan mencapai puncaknya pada malam tanggal 1 Muharram (1 Suro) pada penanggalan Jawa. Pada saat tersebut ribuan wisatawan naik ke Puncak Lawu baik dengan tujuan untuk menikmati keindahan alam maupun untuk melakukan ritual menyambut tahun baru penanggalan Jawa.
Obyek dan daya tarik wisata yang terdapat di kawasan Puncak Lawu sangat banyak sekali jumlahnya baik yang bersifat keindahan alam yang berupa flora dan fauna maupun tempat bersejarah/petilasan peninggalan Raja Brawijaya V dan pengikut-pengikutnya, antara lain :
1. Sumur Jolotundo
Di lokasi ini raja Brawijaya V menerima wangsit dalam perjalanan naik ke Puncak Lawu.
2. Lumbung Selayur
Di lokasi ini terdapat sumur yang digunakan untuk menyimpan bahan makanan/perbekalan para pengikut
Raja Brawijaya V.
3. Pawon Sewu
Pawon Sewu terletak pada peretngahan perjalanan pendakian menuju ke Puncak Lawu. Di tempat ini para
pengikut Raja Brawijaya V mendirikan dapur untuk memasak makanan
4. Gua Selarong.
Gua ini dimanfaatkan para pengikut Raja Brawijaya V untuk bermalam sekaligus sebagai tempat pemantauan.
5. Sendang Intan.
Menurut kepercayaan penduduk setempat, di sendang ini para pendaki/wisatawan dapat memohon berkah dengan cara minum air langsung ke mulut masing-masing dengan menengadahkan muka. Menurut kepercayaan tersebut semakin banyak air yang didapat semakin banyak pula berkah yang diperoleh.

Puncak gunung Lawu dipercayai oleh masyarakat sebagai tempat muksa Prabu Brawijaya dari Kerajaan Majapahit, setelah melewati candi Ceto maupun situs-situs purbakala lainnya.

11. Sapta Tirta Pablengan.
Terletak di desa Pablengan Kecamatan Matesih + 20 km dari Kota Karanganyar. Sapta Tirta Pablengan merupakan pemandian bersejarah peninggalan Mangkunegaran VI yaitu pemandian Keputren. Tempat ini yang masih ramai di kunjungi oleh para wisatawan. Daya tarik tempat ini adalah terdapat tujuh sumber mata air yang berdekatan dan memiliki rasa yang berbeda-beda dan tidak dapat dijumpai di daerah manapun. Tujuh mata air yang berbeda satu sama lain, yaitu
Sumber Air Bleng merupakan mata air yang bisa dipergunakan sebagai bahan pembuatan karak/ kerupuk dari bahan beras.
Sumber Air Hangat, dipercaya masyarakat dapat mengobati berbagai macam penyakit kulit.
Sumber Air Kasekten, dipercaya dapat membuat sesorang kebal dari senjata tajam.
Sumber Air Hidup, dipercaya dapat menambah awet muda.
Sumber Air Mati, merupakan mata air yang tidak bergerak dan airnya tidak pernah berkurang ataupun bertambah.
Sumber Air Soda, sumber air ini berasa soda alami.
Sumber Air Urus-urus, biasa dipergunakan sebagai obat sakit perut (membersihkan perut).
Selain sebagai tempat pemandian Sapta tirta Pablengan di gunakan pensucian diri sebelum para kerabat Mangkunagaran melakukan ziarah ke makam leluhurnya di Astana Mangadeg dan Girilayu

12. Padepokan Segaragunung.
Lingkungan budaya yang menyajikan cerminan dari keterpaduan, keterikatan, dan kesatuan umat beragama dalam mengahayati makna dan nilai-nilai kehidupan bersama, dilandasi dengan pemahaman dasar-dasar filosofi budaya Jawa

13. Puri Taman Saraswati.
Komplek pertamanan yang dibangun di lereng perbukitan berada ditengah hutan pinus sebagai arena meditasi dan upacara ritual bagi masyarakat Hindu setempat dalam memuja dan mengagungkan Sang Pencipta dan Sang Penguasa alam semesta.
Di puri yang bernuansa ketenangan, keteduhan dan kesejukan ini didirikan Patung Dewi Saraswati, pencerminan sumber pengetahuan sebagai landasan kuat dalam membangun kehidupan umat manusia.
Saraswati adalah dewi yang dipuja dalam agama weda. Nama Saraswati tercantum dalam Regweda dan juga dalam sastra Purana (kumpulan ajaran dan mitologi Hindu). Ia adalah dewi ilmu pengetahuan dan seni. Saraswati juga dipuja sebagai dewi kebijaksanaan. Dalam aliran Wedanta, Saraswati di gambarkan sebagai kekuatan feminin dan aspek pengetahuan — sakti — dari Brahman. Sebagaimana pada zaman lampau, ia adalah dewi yang menguasai ilmu pengetahuan dan seni. Para penganut ajaran Wedanta meyakini, dengan menguasai ilmu pengetahuan dan seni, adalah salah satu jalan untuk mencapai moksa, pembebasan dari kelahiran kembali.
Penggambaran
Dewi Saraswati digambarkan sebagai sosok wanita cantik, dengan kulit halus dan bersih, merupakan perlambang bahwa ilmu pengetahuan suci akan memberikan keindahan dalam diri. Ia tampak berpakaian dengan dominasi warna putih, terkesan sopan, menunjukan bahwa pengetahuan suci akan membawa para pelajar pada kesahajaan. Saraswati dapat digambarkan duduk atau berdiri diatas bunga teratai, dan juga terdapat angsa yang merupakan wahana atau kendaraan suci darinya, yang mana semua itu merupakan simbol dari kebenaran sejati. Selain itu, dalam penggambaran sering juga terlukis burung merak. Dewi Saraswati digambarkan memiliki empat lengan yang melambangkan empat aspek kepribadian manusia dalam mempelajari ilmu pengetahuan: pikiran, intelektual, waspada (mawas diri) dan ego. Di masing-masing lengan tergenggam empat benda yang berbeda, yaitu:
Lontar (buku), adalah kitab suci Weda, yang melambangkan pengetahuan universal, abadi, dan ilmu sejati.
Ganitri (tasbih, rosario), melambangkan kekuatan meditasi dan pengetahuan spiritual.
Wina (kecapi), alat musik yang melambangkan kesempurnaan seni dan ilmu pengetahuan.
Damaru (kendang kecil).
Angsa merupakan simbol yang sangat populer yang berkaitan erat dengan Saraswati sebagai wahana (kendaraan suci). Angsa juga melambangkan penguasaan atas Wiweka (daya nalar) dan Wairagya yang sempurna, memiliki kemampuan memilah susu di antara lumpur, memilah antara yang baik dan yang buruk. Angsa berenang di air tanpa membasahi bulu-bulunya, yang memiliki makna filosofi, bahwa seseorang yang bijaksana dalam menjalani kehidupan layaknya orang biasa tanpa terbawa arus keduniawian. Selain angsa, juga sering terdapat merak dalam penggambaran Dewi Saraswati, yang mana adalah simbol dari kesombongan, kebanggaan semu, sebab merak sesekali waktu mengembangkan bulu-bulunya yang indah namun bukan keindahan yang abadi.

14. Telaga MADIRDA
Merupakan sebuah kawasan telaga yang kini masih tertutup lapisan tanah dengan mata air alami yang sangat besar dan jernih, dipercayai sebagai tempat yang memiliki nilai legenda pewayangan dari serial Ramayana, sehingga tetap merupakan tempat yang diyakini mengandung makna pengajaran luhur bagi kehidupan masyarakat setempat




E. MONUMEN.
1. Monumen Radio.
Asal-usul didirikannya Monumen Radio Republik Indonesia di Dukuh Balong adalah berawal dari kedatangan dan pendudukan pasukan Belanda dikota Solo pada Agresi Militernya yang kedua yaitu pada tahun 1948. Karena pendudukan itulah maka RRI Surakarta mengungsi ke Balong dengan melalui jalur Palur-Karanganyar-Karangpandan-Balong dengan cara digotong secara bergantian
Sesampainya di Balong maka perangkat siaran ditempatkan di rumah Bapak Kromo Sentono yang berada di atas bukit. Setelah berjalan dua (2) bulan, Belanda mengetahui keberadaan RRI Surakarta yang berada di Dukuh Balong, maka Belanda mem-mitraliur men-canon Dukuh Balong dari Karangpandan, akan tetapi nasib baik masih berada di pihak RRI , dan RRI selamat. Setelah terjadi serangan dari Karangpandan tersebut maka kemudian RRI dipindahkan ke rumah Bapak Kerto yang berada di bagian bawah bukit. Rumah Bapak Kerto ini berada di bawah rerimbunan bamboo yang lebat.
Saat itu RRI dikepalai oleh Bapak Maladi yang kemudian diberi pangkat Mayor oleh Bapak Gatot Subroto. Jangkauan siaran RRI Surakarta yang bias mencapai luar negeri membuat pasukan Belanda berusaha mencarinya kembali guna dihancurkan. Maka pada tahun nyang sama (1948) Dusun Balong didatangi oleh Belanda dari empat jurusan. Dari arah utara melalui Sragen, arah barat melalui Kerjo, selatan melalui Karangpandan dan dari arah timur. Lagi-lagi nasib baik masih berpihak ke RRI, persembunyiannya yang berada di bawah rerimbunan pohon bamboo tidak diketahui oleh Belanda. Sore harinya sekitar pukul 17.00 - 18.00 Belanda meninggalkan Balong setelah sebelumnya membakar rumah-rumah penduduk dan beberapa markas tentara. Masa pengungsian RRI Surakarta di Balong hanya berlangsung selama sembilan (9) bulan.
Perangkat siaran yang digunakan RRI Surakarta di Balong tersebut saat ini disimpan di museum Jogja Kembali yang berada di Jogjakarta dan diberi nama Kyai Balong . Konon orang-orang menyebut siaran RRI Surakarta yang berada di Balong tersebut dengan sebutan Radio Kambing . Asal usul penamaan tersebut karena siaran dilakukan berada dekat dengan kambing-kambing milik Bapak Kromo Sentono, sehingga tidak jarang ketika sedang dilakukan siaran terdengar suara embikan kambing yang masuk ke dalam radio
Monumen ini pertama kali dibangun swadana murni dari RRI Surakarta dengan bentuk sederhana yang menempati bagian lereng bukit dimana dahulu RRI ditempatkan, akan tetapi karena kondisi tanah sering longsor maka monument dipindahkan ke bagian yang lebih atas namun tetap berada di satu komplek. Pembangunan monument yang kedua dilakukan oleh RRI Surakarta dan keluarga PRSSNI Cabang Surakarta yang terdiri dari 11 radio swasta yaitu Radio Swara Graha, Radio PTPN Rasitania FM Stereo, Radio ABC, Radio SAS, Radio JPI FM Stereo, Radio Emmanuel, Radio Swara Sion Perdana, Radio Swara Iswara Graha, Radio Wijaya Kusuma dan Radio Konservatori. Daftar nama-nama radio tersebut seperti yang terpahat dalam prasasti yang tertempel di Monumen RRI Balong yang ditandatangani oleh Harmoko selaku Menteri Penerangan saat itu. Monumen ini menempati lahan dengan status tanah telah menjadi hak milik RRI Surakarta.
Dukuh Balong terdapat di Desa Balong Kecamatan Jenawi Kabupaten Karanganyar. Lokasi ini dapat ditempuh dengan nkendaraan pribadi maupun angkutan umum. Apabila dengan kendaraan pribadi dapat melalui Karangpandan – Ngargoyoso – Jenawi dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam. Adapun kendaraan umum yang sampai ke wilayah ini adalah minibus yang melayani trayek Sragen – Balong.
Monumen RRI ini berada di Dukuh Balong dan berjarak sekitar 200 meter arah timur terminal Balong.

2. Monumen Joko Songo.
Asal – usul nama Monumen Jokosongo
Monumen Jokosongo awalnya adalah Makam Pahlawan dari para Tentara Pelajar yang tergabung di Pasukan ALAP-ALAP yang gugur melawan penjajah Belanda pada saat clash ke II tahun 1948. ALAP-ALAP sebenarnya singkatan dari Angudi Leburing Angkoro Penjajah, Amrih Luhuring Anak Putu.

Sejarah gugurnya Pahlawan Joko Songo
Dalam sejarah gugurnya Sembilan Pahlawan Joko Songo di daerah Kecamatan Matesih kabupaten Karanganyar, tidak lepas dari kondisi dan situasi daerah Matesih sebelum dan sesudahnya “Joko Songo” gugur sebagai Pahlawan Kusuma Bangsa.
Pada saat meletusnya revolusi kemerdekaan Republik Indonesia, munculah bermacam bentuk pasukan untuk melawan penjajah yang antara lain ; Pasukan ALAP-ALAP, Pasukan Garuda, Pasukan Laskar Rakyat , Pasukan Tentara Pelajar dll.
Pasukan ALAP-ALAP yang sejak clash I telah memperoleh tugas-tugas di front/medan pertempuran di Mranggen, Alas Tuwo, Genuk, Srondol, Ungaran, Salatiga dll bersama pasukan lain, juga ditugaskan di wilayah Mangkoenegaran dan Kasunanan. Kemudian pada saat itu para pasukan menerima Dekrit Presiden yang menentukan bahwa pertahanan dilaksanakan oleh Tentara Nasional dan Laskar Partikelir dilarang. Pada saat itulah di ambil inisiatif dari pimpinan Laskar Rakyat dan ALAP-ALAP , untuk menyusun suatu Batalyon 23 Brigade XXIV Divisi IV Surakarta. Batalyon Brigade 23 kemudian dikenal dengan sebutan Batalyon ALAP-ALAP dan berkedudukan di Gedung SASONO PUSTOKO MANGKUNEGARAN, sedang pasukannya berkedudukan di Suryo Suwitan dan Moyoretno Matesih Karanganyar.
Pada clash ke II Pasukan ALAP-ALAP tersebar di disekitar kota Solo, dalam melawan Belanda yang di wilayah timur keberadaan pasukan tersebut berpusat di Matesih dan Tawangmangu.
Pada tanggal 5 Januari 1949, di daerah Pablengan/Doplang pada jam 15.00 s.d jam 17.00 WIB terjadi pertempuran antara pasukan Tentara Pelajar (TP) dengan kelompok Pasukan Belanda yang sedang patroli dengan kendaraan panser yang memasuki daerah tersebut. Dalam pertempuran itu gugurlah delapan (8) orang Tentara Pelajar yang diantaranya adalah sdr. SOENARTO putra dari Bapak Martoyono Kepala Pasar Matesih, Anggota Staf Logistik Pasukan ALAP-ALAP.
Dua (2) hari kemudian dalam pertempuran serupa , gugur lagi serang Tentara Pelajar (TP) yaitu sdr. WALUYO putra DARI Bapak Lurah Pablengan, pertempuran terjadi di daerah Tawangmangu.
Sembilan Tentara Pelajar (TP) yang gugur di Matesih dan Tawangmangu tersebut dimakamkan di Makam Pahlawan Matesih. Kesembilan tentara pelajar tersebut adalah :
1. LAKTOTO 5. SOENARTO
2. MOERJOTO 6. SLAMETO
3. ROESMAN 7. SOEKOTO
4. SOEPRIYADI 8. SALAM HASYIM
9. WALUYO
Karena kesembilan TP yang gugur tadi kesemuanya masih jejaka maka Makam tersebut kemudian diberi nama Makam Pahlawan “JOKO SONGO”

3. Monumen Perjanijan Giyanti.
Monumen Perjanjian Giyanti terletak di desa Janti kalurahan Jantiharjo Kecamatan Karanganyar Kota. Monumen ini merupakan suatu monument sejarah yang sangat monumental yang menandai pembagian wilayah Kerajaan Mataram Islam menjadi dua , yakni Surakarta dan Jogjakarta ( Kasunanan dan Kasultanan ) pada zaman pemerintahan Pakubuwono III sekitar tahun 1755.
Ditempat inilah tersimpan ingatan kolektif masyarakat Indonesia tentang kelicikan Penjajah Belanda dalam menundukkan para penguasa Jawa melalui politik pecah belah (devide et impera).
Ditempat ini pula terdapat peninggalan arca yang belum sempurna. Komplek Monumen ini berada di lingkungan desa yang teduh di tepi jalur Matesih – Karanganyar yang sepanjang hari dilewati angkutan regular mikrobus.



4. Monumen Perjuangan.
Disebelah timur kecamatan ( perempatan Kecamatan Mojogedang ), berdiri sebuah tugu yang diberi nama TUGU PAHLAWAN. Tugu ini terletak di tengah-tengah perempatan, berdiameter 1,5 meter. Tugu ini menjadi peringatan, mengenang para pahlawan yang berjuang merebut kemerdekaan pada zaman agresi Belanda. Pada tugu ini terdapat tujuh (7) nama pejuang :
1. Lettu TNI Sringat
2. Prattu TNI Sulaeman
3. Prattu TNI Djanto
4. Pager Desa Krasan
5. Saji Pejuang
6. Suradi Pejuang
7. Tentara Pelajar

Dari daftar tersebut nomor 1 s.d 3 adalah pejuang TNI, nomor 4 s.d 6 adalah pejuang warga masyarakat dan nomor 7 adalah seorang Tentara Pelajar. Ketujuh pejuang itu gugur dalam perjuangannya melawan Belanda. Ketujuh pejuang dimakamkan di makam umum oleh keluarga masing-masing, dan untuk mengenang perjuangan mereka maka didirikanlah tugu sebagai monument untuk mengenang dan diukirlah nama-nama mereka ditugu tersebut untuk mengenang jasa-jasanya. Hal ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia dimanapun mengadakan perlawanan atas penjajahan Belanda.

5. Monumen Jaten.
Bangunan yang berdiri diatas tanah seluas 3.200 meter persegi, komplek bangunan dilingkungan Dukuh Getas Kalurahan/Kecamatan Jaten ini,kemudian dikenal dengan MONUMEN JATEN. Masyarakat mengenal monument ini sebagai salah satu situs yang berkaitan dengan Astana Giribangun di Kecamatan Matesih, tempat dimakamkan nya Presiden RI ke II HM SOEHARTO dan isterinya Hj SITI FATIMAH HARTINAH SOEHARTO
Diresmikan pada tahun 1992, Monumen Jaten dilengkapi dengan sebuah masjid, ruang perpustakaan, kantor , pendopo dan sebuah prasasti. Selain itu ada pula sebuah sumur yang diberi nama sama persis dengan nama masjidnya, yaitu Sumur Fatimah. Sebelum Presiden Soeharto lengser tahun 1998, monument yang didirikan untuk memperingati tempat kelahiran Siti Fatimah Hartinah Soeharto atau Ibu Tien Soeharto ini ramai dikunjungi wisatawan, baik lokal maupun dari daerah-daerah lain di luar Pulau Jawa.

Namun demikian seiring berjalannya waktu, pengunjung pun kian menurun. Tak hanya itu , perhatian yang diberikan untuk pemeliharaan dan pengembangan monument juga semakin berkurang, bahkan nyaris hilang.

Menurut Pengelola Monumen Jaten Darmadi, sampai saat ini sebenarnya masih ada pengunjung yang datang meskipun relative jarang. Biasanya rombongan yang habis ziarah ke Astana Mengadeg lalu mampir ke Monumen Jaten ini. Monumen ini tidak hanya sekedar untuk obyek kunjungan wisata, Monumen Jaten saat ini banyak dimanfaatkan guna kepentingan sosial kemasyarakatan. Pendopo yang memiliki ukuran cukup besar bahkan sering dipakai untuk pelaksanaan resepsi pernikahan. Kegiatan lain yang tak jarang digelar di Monumen Jaten ini adalah pertemuan warga lingkungan Dukuh Getas, kemudian tempat latihan kesenian tari, karawitan serta setiap Jum’at di mesjid Fatimah ini selalu dipakai untuk salat jum’at.

Dua bangunan yang memiliki nilai kedekatan dengan Ibu Tien Soeharto dikomplek ini adalah Sumur Fatimah dan Prasasti. Sumur yang menurut cerita menjadi tempat pemandian Ibu Tien Soeharto semasa kecil itu hingga kini masih sering didatangi warga.

6. Monumen Loko Mini (Pabrik Gula Tasikmadu).
Latar Belakang
Industri gula adalah salah satu industri tua yang pernah ada di dalam negeri. Terlepas dari masihn kurangnya produksi gula, industri ini telah menempuh perjalanan panjang sejak masa Kolonial Belanda. Setidaknya hingga kini pabrik-pabrik produsen gula yang beroperasi adalah peninggalan masa lalu yang sudah berusia senja.
Barangkali tak ada yang memasukkan Pabrik Gula (PG) ini sebagai bangunan cagar budaya. Namun tak ada salahnya memandang pabrik yang sebagian masih berproduksi ini sebagai saksi sejarah. Di Solo Raya ada beberapa pabrik gula yang sama-sama peninggalan masa kolonial. Dua diantaranya pernah dimiliki penguasa Mangkunegaran dengan Mangkoenegoro IV sebagai pendirinya, yaitu PG Colomadu dan PG Tasikmadu.
Jika PG Colomadu dan Ceperbaru telah tutup, maka PG Tasikmadu masih tetap dipertahankan. Maka wajar jika bangunan ini dianggap pabrik gula yang monumental oleh sebagian orang. Ditilik dari sejarahnya, tak ada pabrik gula semasa yang memiliki nilai seperti PG Tasikmadu. Selain sebagai pabrik tua yang masih berproduksi, kepemilikan pabrik ini tidak pernah tersentuh oleh tangan pihak asing dan hampir selalu dikelola oleh pribumi.
Mangkoenegoro IV yang terkenal dengan jiwa wirausahanya menanamkan modal dalam berbagai sector usaha, termasuk pabrik gula. Pabrik Gula yang pertama didirikannya adalah PG Colomadu di wilayah barat praja (kraton) pada tahun 1816. Sementara pendirian Pabrik Gula Tasikmadu di sebelah timur adalah sepuluh tahun kemudian menjadi pertanda perkembangan pesat dalam bisnis gula Mangkunegara
Keluarga Mangkoenegoro berikutnya mampu mempertahankan bisnis ini hingga peralihan kepemilikan asset pasca proklamasi kemerdekaan. Namun Kejayaan bisnis ini tak lepas dari status Mangkunegaran sebagai penguasa yang membuat rakyat merelakan lahannya untuk ditanami tebu. Sistem sewa tanah yang berlaku juga memudahkan pemodal dan pemerintah saat itu untuk memiliki perkebunan.
Kemerdekaan RI dan berakhirnya kekuasaan Kasunanan dan Mangkunegaran telah membawa dampak besar. Sebelumnya, penggunaan lahan untuk kebutuhan produksi tebu manjadi tidak mudah seiring meningkatnya kesadaran petani (pemilik lahan) dalam sewa tanah dan pembengkakan anggran hingga 12 % biaya produksi (Wasino, 2004). Masalah ini bertambah besar saat Pemerintah RI mengambil alih kepemilikan kedua pabrik.
Kenyataannya masalah ini masih menjadi kendala bagi produksi gula di Tasikmadu saat ini. Ada sekitar 6.500 Ha lahan di seluruh Surakarta, Grobogan dan Kabupaten Semarang yang menjadi pemasok tebu, hampir seluruhnya bukan milik PG Tasikmadu. Soal terbatanya pasokan inilah yang menyebabkan tutupnya pabrik-pabrik gula lainnya, termasuk PG Colomadu pada tahun 1998. Kapasitas produksi mencapai 40 kwintal tebu perhari, tapi selama ini rata-rata sampai 32 kwintal per hari.
Mesin-mesin tua hingga kini masih ada yang bisa ditemui di pabrik ini seperti ada yang bernomor 1926. Nilai wisata sejarah tampaknya menjadi sisi lain yang ditawarkan. Pasalnya beberapa turis asing tertarik dengan mesin-mesin tua ini.

MONUMEN SEJARAH PABRIK GULA TASIKMADU

Pabrik Gula Tasikmadu yang terletak di desa Ngijo, Kecamatan Tasikmadu Kabupaten Karanganyar adalah salah satu pabrik gula yang berada di bawah pengelolaan PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Jawa Tengah. Pabrik ini didirikan pada tahun 1871 oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkoenegoro IV, Raja dari Kerajaan Mangkunegaran. Mulai dari awal berdirinya, Pabrik Gula Tasikmadu memroses tebu menjadi gula kristal putih melalui system Karbonasi Rangkap, di dalam proses perjalanan nya sampai dengan sekarang telah mengalami beberapa kali rehabilitasi sehingga dapat memenuhi kelayakan standar industri. Wilayah kerja Pabrik Gula Tasikmadu ini meliputi tujuh Kabupaten, yaitu : Karanganyar, Sukoharjo, Wonogiri, Boyolali, Salatiga, Semarang dan Sragen.

MONUMEN LOKO MINI
Monumen Loko Mini yang berada di depan Kantor Instalasi dibuat oleh KGPAA Mangkoenegoro IV untuk mengenang keberadaannya sebagai loko yang pertama kali digunakan oleh Pabrik Gula Tasikmadu. Menurut cerita Loko yang dibuat pada tahun 1902 beroperasi mengangkutb tebu di wilayah bagian utara Pabrik Gula Tasikmadu, tepatnya di sekitar Desa Kaliboto, Wolopo, Kalijirak dan sekitarnya

Pada suatu saat loko tersebut mengangkut tebu yang cukup banyak muatan, terjadi kecelakaan di atas sungai Tempuran, tepatnya di sekitar Desa Wonolopo. Lori tebu beserta loko, masinis dan stokernya porak-poranda masuk ke sungai dan yang ditemukan hanya kepala lokonya.
KREMOON (Gerbong)
Konon Kanjeng Gusti Mangkoenegoro IV bila akan meninjau Pabrik Gula, beliau naik Kremoon (Gerbong) dan ditarik dengan kereta api sampai di Stasiun Kemiri Kebakkramat, dan dari Kemiri Kebakkramat lalu ditarik dengan loko milik Pabrik Gula Tasikmadu
Menurut cerita Kremoon itu ditaburi dengan serbuk emas dan sangat angker. Kremoon tersebut ditunggui oleh mahkluk halus sebangsa Jin. Barang siapa tanpa permisi mengusik keberadaan Kremoon tersebut akan berakibat fatal maka sampai sekarang masih angker dan tidak sembarang orang bisa merawatnya.

BENDI
Menurut cerita jaman dahulu apabila Kanjeng Gusti Mangkoenegoro IV mau berkunjung atau meninjau lahan tebu di wilayah Pabrik Gula Tasikmadu menggunakan Bendi yang sekarang ada di depan Pabrik Gula. Dan bendi itu sendiri sangat angker dan katanya, pada malam-malam tertentu sering terdengar suara kuda yang menarik bendi, maka bendi itu sekarang juga dikeramatkan.

LORI BADER
Wilayah tanaman tebu Pabrik Gula Tasikmadu sangat luas dan hasi produksi tebunya melimpah, maka untuk mengangkut hasil tebangan tebu diperlukan lori yang ditarik oleh loko uap. Untuk itu KGPAA Mangkoenegoro berkenan membuat lori guna mengangkut hasil tebangan sekaligus unyuk menjaga atau melindungi hasil produksi tebu agar tidak dicuri dan membantu kekuatan mesin uap loko untuk menarik lori-lori dengan jarak yang sangat jauh dari lokasi Pabrik Gula. Lori buatan KGPAA Mangkoenegoro berkekuatan gaib dan dinamakan Lori Bader (nomor lori 455) .Dengan adanya kekuatan gaib dari lori Bader tersebut maka kekuatan loko uap menjadi bertambah dan bias menarik lebih dari 30 lori berisi tebu tebangan yang berada sangat jauh dari pabrik.
Terkadang lori Bader tiba-tiba pergi dan dating sendiri, keberadaannya sangat misterius, seringkali dia tiba-tiba ada pada suatu deretan lori-lori yang mengangkut tebu. Jika pada suatu saat lori ini kurang diperhatikan sesajinya maka akan marah dengan menabrak lori-lori yang lainnya.
Menurut cerita pada saat itu ada seseorang yang akan memotong (menggergaji) drajuknya untuk menyamakan ketinggiannya dengan lori yang lain, tapi yang terjadi drajuk yang digergaji tidak putus dan orangnya menjadi sakit karena kena kutukan dari lori tersebut. Dan bekas gergajian tersebut sampai sekarang masih membekas di drajuk Lori Bader.

KYAI MENDUNG
Orang-orang pada zaman dulu selalu memberikan nama kepada benda-benda yang dibuatnya. Salah satunya adalah Kyai Mendung . Kyai Mendung adalah ketel di Pabrik Gula Tasikmadu, ketel tersebut adalah ketel yang pertama .dan merupaka ketel cikal bakal di Pabrik Gula Tasikmadu.

Pada saat ketel tersebut direhab atau dibongkar dan dijadikan besi tua, kadang-kadang ketel tersebut mengeluarkan airnya, padahal saat itu merupakan musm kerning atau kemarau. Sampai sekarang Kayi Mendung masih misterius keberadaannya.

7. Monumen Tanah Kritis.
Monumen Tanah Kritis terletak di daerah Jumantono.Mengapa Tanah kritis ini tidak dapat ditanami? Menurut informan yang kami temui di Laboratorium pertanian yang ada di Jumantono,sebenarnya di Tanah Kritis itu tidak mengandung minyak seperti yang dikatakan oleh orang-orang awam .Yang terjadi adalah tanah yang berada di tempat itu merupakan tanah yang berjenis Alfisol,mempunyai tipe yang sama dengan tanah liat dengan tanah liat dengan perbandingan 1:1dengan nama kaolinit .jenis tanah ini mengandung Al (Alumumium )dan Fe (Besi). Didalam horiyon (lapisan tanah ) ciri Alfisol mempunyai horizon Argilik.yang dimaksud dengan horizon Argilik adalah horizon yang tersusun dari hasil akumulasi lempung dalam tanah .Tanah yang terdapat di museum Tanah kritis ini tidak dapat ditanami sebab tanah tersebut mengandung Al dan Fe berarti tanah itu adalah tanah yang masam (asam).Sehingga P (Fospor) yang dibutuhkan oleh tanaman tidak bisa diserap oleh tanaman .Mengapa tidak bisa diserap oleh tanaman? Sebab P (Fospor) tadi diikat oleh Al dan Fe.
Demikianlah kejadian sebenarnya keadaan di Tanah Kritis sehingga tidak ada satupun tanaman yang dapat tumbuh ditempat itu. Bukan karena tanahnya yang padas tetapi memang karena lapisan tanahnya yang mengandung besi dan alumunium sehingga tidak bisa ditanami.
Monumen Tanah Kritis ini didirikan atas prakarsa mbak Tutut (Putri mantan presiden Soeharto )yang kemudian berhenti dalam pembangunannya dikarenakan Mantan Presiden Soeharto turun dari kursi pemerintahan. Sehingga pembangunan di tempat ini belum terselesaikan .Bahkan sempat terdengar di wilayah inipun akan dibuat tempat pemancingan, tetapi belum terselesaikan juga pembangunannya. Tujuan pembangunan Monumen Tanah Kritis ini adalah menjadi daerah pariwisata dan menjadi data penelitian.
Gundukan tanah yang terdapat di dalam Monumen Tanah Kritis ini tidak dapat ditanami dengan tanaman apapun. Walaupun ditanami pasti akan mati juga, bahkan rumput yang tumbuhpun pasti akan segera mati juga. Tanah ini lain jenisnya, seperti padas tapi bukan padas, warnanya pun lain dari warna tanah di sekitarnya. Tanah Kritis ini hanya terdapat di satu wilayah tersebut (yang sekarang ini disebut dengan Monumen Tanah Kritis), lainnya tidak.
Daerah Monumen Tanah Kritis sangat sejuk karena disekitarnya tanaman bisa tumbuh subur. tetapi di sisi lain Monumen ini juga tidak terawat. Tidak ada petugas untuk memberikan keterangan kepada pengunjung.
Bp. Abdulrohman dulunya adalah pemilik tanah di daerah dimana sekarang telah dijadikan Monumen Tanah Kritis. Tanah tersebut dahulu dibeli oleh pemerintah masih sangat murah, yakni sebesar Rp. 600,- per meter. Tanahnya seluas kira-kira 1000 meter atau sampai 4 patok. Dahulu orang luar, dari 14 negara pernah datang untu melihat keadaan tanah yang sebenarnya. Tanah Bp. Abdulrohman dahulu ditakut-takuti oleh negara dan sesepuh daerah tersebut agar tanah ini diserahkan kepada pemerintah untuk dijadikan penelitian. Kalau tanah tersebut tidak dikerjakan, maka tanah tersebut akan diminta oleh pemerintah. Tanah tersebut tidak bisa ditanami dengan tanaman apapun, setiap tanaman pasti mati. Akhirnya Bp. Abdulrohman mencoba semaksimal mungkin untuk mengusahakan tanahnya agar dapat memberikan hasil panen yang baik. Dengan berusaha semaksimal mungkin yaitu dengan mengusung tanah dari daerah lain, lalu dibawa ke lahannya. Tetapi alhasil tidak dapat ditanami oleh tanaman apapun. Utusan dari negara Belanda melihat bahwa tanah tersebut mengandung minyak.
Ketika hujan turun, tanah tersebut bila diduduki, celana kita tidak akan basah. Ketika hujan turun, terdapat aliran air yang mengalir dari lahan tersebut, seperti mengandung minyak tanah, hal ini dapat dilihat bahwa aliran air tersebut berwarna seperti pelangi. Tanah ini setelah hujan, gampang kering.
Tanah kritis ini dulunya juga sudah diusahakan dengan jalan membawa gumpalan tanah dari daerah jauh lainnya, tetapi tetap saja tidak tumbuh bila ditanami tanaman apapun. Sepertinya tanah ini berlapis, sehingga tampak seolah hanya lapisan atas yang tipis itu tampak bergizi, dan yang selanjutnya tampak tandus dan rusak.
Tujuan pembangunan monumen ini, untuk menghambat agar tanah ini tidak longsor kemana-mana, maka tanah ini dipagari. Pembangunan ini dilakukan kurang lebih 2 tahun yang lalu.
Pada tahun 1988 disyahkan oleh Menteri Kehutanan Sudjarwo, tetapi pembangunan tersebut belum selesai. Maka dari itu 2 tahun yang lalu Monumen Tanah Kritis ini direnovasi kembali. Dulunya bangunan ini hanya dibangun berupa pagar kawat saja, sekarang sudah dibatako.
Tempat ini dulu juga untuk pementasan pentas seni daerah sekitar. Pementasan dilakukan di pendopo/paviliun yang terdapat di area Monumen ini. Tradisi Rasulan/Suran masih diadakan di daerah ini yang diadakan di tempat Pak Bayan.

8. Monumen Gatot Subroto.
Monumen Gatot Subroto didirikan untuk mengenang atas jasa Pahlawan Pejuang Gatoi Subroto dalam pertempuran melawan penjajah Belanda pada saat Clash ke dua tahun 1948 / 1949. Pertempuran terjadi untuk mempertahankan Stasiun Radio Republik Indonesia

9. Monumen Tugu Pahlawan Mojogedang.
Disebelah timur kecamatan ( perempatan Kecamatan Mojogedang ), berdiri sebuah tugu yang diberi nama TUGU PAHLAWAN. Tugu ini terletak di tengah-tengah perempatan, berdiameter 1,5 meter. Tugu ini menjadi peringatan, mengenang para pahlawan yang berjuang merebut kemerdekaan pada zaman agresi Belanda. Pada tugu ini terdapat tujuh (7) nama pejuang :
1. Lettu TNI Sringat
2. Prattu TNI Sulaeman
3. Prattu TNI Djanto
4. Pager Desa Krasan
5. Saji Pejuang
6. Suradi Pejuang
7. Tentara Pelajar
Dari daftar tersebut nomor 1 s.d 3 adalah pejuang TNI, nomor 4 s.d 6 adalah pejuang warga masyarakat dan nomor 7 adalah seorang Tentara Pelajar. Ketujuh pejuang itu gugur dalam perjuangannya melawan Belanda. Ketujuh pejuang dimakamkan di makam umum oleh keluarga masing-masing, dan untuk mengenang perjuangan mereka maka didirikanlah tugu sebagai monument untuk mengenang dan diukirlah nama-nama mereka ditugu tersebut untuk mengenang jasa-jasanya. Hal ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia dimanapun mengadakan perlawanan atas penjajahan Belanda.

F. KESENIAN TRADISIONAL.
1. Lesung.
1. Lesung Merupakan Alat Tradisional Dalam Produksi Pertanian Khususnya
Petani
Digunakan untuk :
- Menumbuk padi → menghasilkan beras
- Menumbuk jagung → menghasilkan tepung jagung
- Menumbuk gaplek → menghasilkan tepung ketela

2. Kotekan Lesung sebagai seni Tradisional
Dalam perkembangannya, setelah menumbuh padi dilanjutkan kotekan dengan alat lesung tersebut untuk melepaskan kepenatan. Kotekan tersebut terus dikembangkan disertai dengan nyanyian / lagu dan terus berkembang menjadi kotekan lesung yang lebih baik dan ditampilkan dalam acara-acara di pedesaan seperti : merti desa dan upacara lainnya. “Lesung dapat berkembang menjadi seni tradisional di pedesaan”

3. Kotekan Lesung Sebagai Lambang Kesuburan Dan Kerukunan
Seni tradisional kotekan musik lesung terus berkembang, dengan adanya bunyi kotekan lesung disitu bisa dilambangkan adanya :
- Lambang kesuburan → karena penumbuk padi, ketela dan jagung ( musim panen )
- Sebagai Lambang kerukunan dan kebersamaan karena kotekan lesung dilaksanakan secara bersama-sama oleh beberapa orang.
- Sebelum ada hajatan, di pedesaan diawali dengan menumbuk padi secara bersama-sama dan dilanjutkan dengan kotekan lesung sebagai bentuk apresiasi kegembiraan dan sebagai tanda undangan kepada masyarakat disekitarnya.

4. Peran Kotekan Lesung Dalam Sejarah Perjuangan Bangsa
Pada saat Pangeran Samber Nyawa (Raden Mas Said) berjuang melawan penjajah Belanda, kotekan lesung dijadikan :
- Sebagai sandi (kode) untuk memberitahukan bahwa ada kedatangan musuh.
- Juga dijadikan sebagai tanda bahwa disitu tempat lumbung perbekalan prajurit untuk
melawan Musuh.

Tari Lara Blonyo merupakan gambaran Dewi Sri dan Dewa Sadana. Dewi Sri adalah Dewi Pelindung padi dan pemberi berkah dan merupakan lambang kemakmuran, Sedangkan Dewa Sadana adalah dewa sandang pangan. Dahulu Dewi Sri dan Sadana adalah lambang kemakmuran dan kesejahteraan sehingga masyarakat aman tenteram dan damai. Pada saat sekarang kedua Dewa dan dewi tersebut sudah sirna dari bumi pertiwi dan menetap di Tirta Kedasar. Sepeninggal Dewi Sri dan Sadana keadaan bumi pertiwi makin terpuruk Bencana dan malapetaka serta huru hara ada dimana-mana Atas petunjuk dewa Wisnu agar keadaan aman tenteram dan makmur harus membawa kembali Dewi Sri dan Sadana. Namun hal itu tidaklah mudah karena untuk mendapatkan Dewi Sri dan Sadana harus berhadapan dengan raksasa penunggu Negara Tirta Kedasar. Semar berhasil membawa Dewi Sri dan Sadana atas restu Dewa Wisnu. Dengan diboyongnya Dewi Sri dan Sadana Keadaan pulih kembali Hasil Pertanian meningkat, sandang dan pangan melimpah. Untuk menghormati Dewi Sri dan Sadana Masyarakat menyampaikan ucapan syukur dengan musik kothekan lesung yang Berirama ritme religius magis.

5. Perkembangan Kotekan Lesung di Era Modernisasi Pertanian
Dengan semakin berkembangnya teknologi pertanian, dimana dalam memproduksi beras, tepung jagung, dan tepung singkong sudah banyak menggunakan mesin selep dan penggilingan yang menggunakan tenaga diesel.
Dengan demikian alat penumbuk (alu) dan lesung / lumpang sudah tidak digunakan, dan sudah disisihkan tempatnya jauh dari jangkauan orang, praktis musik lesung sudah terlupakan dan tersisihkan dalam kehidupan masyarakat di pedesaan, diganti dengan hiburan yang praktis dan efisien seperti : televisi, tape recorder dan sebagainya.

2. Jaran Gedrug.

Jaran Gedrug adalah tari rakyat yang berkembang di Kabupaten Karanganyar, yang dikemas dengan pakaian prajurit berkuda. Tari ini bersumber dari sejarah kepahlawanan Pangeran Sambernyawa ( KGPAA. Mangkunegara I ) dalam mengusir penjajah Belanda. Pada waktu Pangeran Sambernyawa berperang yang diikuti oleh prajurit berkuda, ketika Beliau beristirahat sambil mengatur siasat perang, kuda yang dinaiki menari-nari kakinya diangkat dan gedrug bumi untuk maju ke medan perang lagi Istilah “ GEDRUG “ adalah identik dengan kaki yang artinya bergerak atau melangkah untuk maju.

Tari Jaran Gedrug di ciptakan oleh Bupati Karanganyar ( Dr. Hj. Rina Iriani Sri ratnaningsih, S.Pd. M.Hum ) dan sudah dipatenkan menjadi seni tradisi Kabupaten Karanganyar. Tari Jaran Gedrug merupakan tari kolosal biasanya diperagakan oleh orang banyak yaitu siswa-siswa mulai dari SD, SMP, SMA dan masyarakat umum. Tari ini adalah suatu kreasi tari keprajuritan atau kepahlawanan. Pada tahun 2009 telah tercatat di Mueum Rakor Dunia Indonesia (MURI) dengan peserta terbanyak + 21.732 penari secara serentak dengan berpakaian prajurit dengan dilengkapi property kuda kepang.

Kuda adalah binatang yang larinya cepat, kuat, keras dan tak kenal lelah. Sedangkan pahlawan atau seorang prajurit harus cerdik, pandai, kuat dan banyak taktik perang untuk melawan musuh demi kemenangan. Sehingga kemenangan dan kekuatan tidak hanya tergantung kepada para prajurit tetapi seluruh lapisan masyarakat harus rukun, kompak dengan semboyan yang pernah diikrarkan oleh Pangeran Sambernyawa yaitu ” TIJI TIBEH ” ( mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh )

3. Srandil.

Kesenian Srandil berasal dari daerah Kabupaten Wonogiri, tepatnya dari Desa Watu Karung, Nglingi, Watu Genuk Kabupaten Wonogiri, dimana masyarak dari desa tersebut melaksanakan transmigrasi ”bedhol desa” ke Sumatra. Desanya terkena proyek untuk pembangunan waduk yang terkenal dengan Waduk Gajah Mungkur.
Seiring dengan berkembangnya waktu, Kesenian Srandil bisa berkembang di desa Plosorejo Kecamatan Matesih. Kenapa Srandil malah berkembang di Matesih Kabupaten Karanganyar dari pada di Wonogiri ?

1. Asal mulanya Kesenian Srandil
Menurut cerita pada saat itu ada orang yang mbarang (ngamen) keliling yang biasanya rombongan pengamen sampai bermalam di desa di mana dia ngamen sampai 2 atau 3 hari baru melanjutkan ke desa lain. Rombongan pengamen pada waktu itu menginap di Dusun Bangeran Desa Plosorejo Kecamatan Matesih Kabupaten Karanganyar, ternyata masyarakat Bangeran tertarik dengan kesenian tersebut, maka mereka kemudian belajar kepada rombongan pengamen.
Kesenian Srandil sendiri mengisahkan/menggambarkan kejujuran seseorang didalam rumah tangga, siapa yang jujur akan mujur dan yang tidak jujur tentu akan menerima akibatnya. Dikisahkan bertemunya seorang lelaki bernama Pak Ganyong dengan seorang perempuan bernama Mbok Tuwo. Mereka berhubungan sampai Mbok Tuwo hamil (6) enam bulan. Dalam kehamilannya Mbok Tuwo mempunyai permintaan untuk dicarikan “ikan antep”. Karena ada permintaan dari mbok Tuwo tersebut, Pak Ganyong akhirnya pergi ke hutan untuk mencari ikan antep. Mbok Tuwo dirumah ditemani seseorang yang “ngenger” (mengabdi) bernama Paman Bedes
Dalam perjalanannya mencari ikan antep Pak Ganyong ketemu dengan seorang Gadis/Perawan yang akhirnya ikut pulang kerumah. Ketika Pak Ganyong ke sawah si Gadis /Perawan tadi berselingkuh dengan tamu yang datang ke rumah. Pak Ganyong yang cemburu akhirnya marah, karena takut si Perawan lari ke hutan. Dalam pelariannya di hutan, si Perawan menjumpai jembatan yang digambarkan jembatan itu adalah jenbatan ”sirotol mustaqim” yaitu jembatan untuk mengetahui kejujuran seseorang, bagi siapa saja yang jujur akan aman melewatinya dan yang tidak jujur akan jatuh ke sungai dibawahnya (sungai tempat menghukum orang-orang yang berdosa, seperti dalam ajaran agama Islam). Si Perawan ternyata tidak bisa melewati jembatan, ia jatuh kesungai dan mendapatkan hukuman/penyiksaan karena tidak jujur. Pak Ganyong yang mendengar teriakan si Perawan yang minta tolong dari penyiksaan, kemudian ditolong dan diajak pulang kerumah Pak Ganyong. Setelah tiba di rumah, Mbok Tuwo yang ditemani Paman Bedes ternyata telah melahirkan anaknya. Akhir dari cerita Pak Ganyong membina rumah tangga dengan 2 (dua) orang istri yang dalam kehidupannya saling menyindir antara kedua isterinya. Sindiran keduanyan itu dituangkan dalam gending-gending.

2. Urutan Adegan Srandil dalam pementasan
1. Untuk pembukaan disuguhkan Tarian Pambuko.
2. Gending-gending (Semut Rambut, Paman Mandung).
3. Adegan antara Pak Ganyong dan Mbok Tuwo.
4. Gending-gending.
5. Adegan Pak Ganyong pergi ke hutan untuk mencari ikan antep.
6. Gending-gending ( Sawo Gunung, Dul Simak dll ).
7. Adegan Mbok Tuwo dirumah yang ditemani Paman Bedes yaitu seorang pembantu yang digambarkan
sebagai seorang pembantu yang setia kepada majikan.
8. Adegan pertemuan antara Pak Ganyong dengan Si Perawan.
9. Adegan Si Perawan berselingkuh dengan Joko Kabul, tamu yang datang kerumah.
10. Adegan Marahnya Pak Ganyong yang mengetahui bahwa Si Perawan selingkuh dengan Joko Kabul, lalu
Si Perawan lari dari rumah.
11. Adegan pelarian Si Perawan kehutan sampai dia jatuh kesungai sirotol mustaqim. Sampai ditolongnya Si
Perawan oleh pak Ganyong lalu diajak pulang untuk bersama-sama membangun rumah tangga.

4. Ledhek Gondhel Beruk Marikangen / Ureng-ureng Thiyet.
1. Latar Belakang
Ureng-Ureng Tiyet Ledhek Gondhel Beruk Mari Kangen adalah merupakan salah satu kesenian tradisional dari Kabupaten Karanganyar. Tepatnya berasal dari Dusun Karanglo Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar. Kesenian ini dikatakan hampir punah karena jarang dipentaskan. Keberadaan kesenian Ureng-Ureng Tiyet Ledhek Gondhel Beruk Mari Kangen berawal saat Dusun Karanglo terjangkit “pageblug” (bencana), warga yang semula sehat, pagi sakit sore meninggal dunia, sore sakit pagi meninggal dunia. Hal ini terjadi hampir tiap hari, bahkan para petanipun mengalami musibah gagal panen.
Pada waktu itu kesenian Ureng-Ureng Tiyet Ledhek Gondhel Beruk Mari Kangen dipentaskan setiap habis panen raya , namun karena biayanya besar , sekarang dilaksanakan tiap 2 (dua) tahun sekali , tetapi untuk bersih desanya sendiri tetap dilaksanakan tiap tahun

2. Asal-usul Kesenian Ureng-Ureng Tiyet Ledhek Gondhel Beruk Mari Kangen
Dusun Karanglo Kalurahan Karanglo Kecamatan Tawangmangu yang terletak disebelah barat lereng Lawu adalah sebuah desa kecil, masyarakatnya mayoritas petani (petani padi, buah maupun polowijo). Dalam menjalankan roda kehidupan sehari-hari sebagai masyarakat desa seperti biasa, guyub rukun, saling membantu bahu membahu. Kehidupan warga yang tenang sederhana didukung ekonomi warga yang cukup, seakan tidak ada masalah. Kehidupan warga yang semula ayem tentrem kertoraharjo tersebut tiba-tiba berubah karena datangnya “pageblug” atau bencana yang menyerang warga. Warga yang semula sehat wal’afiat tiba-tiba sakit dan meninggal dunia, pagi sakit sore meninggal dunia, sore sakit pagi meninggal dunia. Hal ini terjadi hampir tiap hari. Keadaan ini bahkan semakin parah ketika para petani yang semula bisa menikmati hasil panen, tiba-tiba gagal panen. Bencana silih berganti seolah tada mau berhenti.
Menghadapi kenyataan yang demikian maka para sesepuh dusun akhirnya melakukan tirakat memohon kepada Tuhan untuk diberi jalan keluar dari pageblug yang menimpa warga. Para sesepuh melakukan tirakat di Pegunungan Purung Ngargoyoso. Dan dalam tirakatnya para sesepuh tadi mendapatkan petunjuk, agar melakukan kegiatan upacara tasyakuran dengan menggelar kesenian . Ketika sesepuh warga yang melakukan tirakat medapatkan petunjuk, kemudian menghadap Bu Lurah yang kondisinya lumpuh dan tuli, ia mohon agar warganya yang sakit bisa disembuhkan, petani bisa panen kembali. Bu Lurah menyanggupi untuk memulihkan keadaan tetapi dengan syarat agar mencari “ledhek” (Waranggana) untuk menggelar kesenian sambil membuang sesaji (Jawa: Cok Bakal) ke empat penjuru dan pusat desa yaitu ke kiblat papat lima pancer ( utara, selatan, timur, barat dan tengah desa ) serta ketiga punden Yaitu : (1). Punden Jero, (2). Punden Sumelikan dan (3). Punden Gondang sambil memohon kepada Tuhan agar dijauhkan segala “sengkolo” atau “pageblug” dari wilayah Karanglo. Proses pembicaraan antara Bu Lurah yang tuli dan lumpuh dengan sesepuh tadi yang akhirnya menjadi nama kesenian URENG-URENG TIYET LEDHEK GONDHEL BERUK MARI KANGEN
Menurut sumber yang berhasil ditemui yaitu Mbah Sarno dan Bapak Paidi, untuk mencari ledhek (waranggana) ternyata tidak sembarang orang yang bisa menjadi ledhek, setelah dicari keempat penjuru akhirnya ketemu seorang ledhek yang bernama Sredek dari wilayah Kecamatan Jumantono. Kemudian badut diperagakan oleh 2 (dua) orang yaitu Mbah Kriyo Rejo dan mbah Wiryo Sawidi ( saat kami menemui usia mereka sudah lebih dari 70 tahun ) yang sebelumnya juga ikut tirakat di pereng Gunung Purung juga mendapat wangsit agar membuat sesaji (Jawa : Cok bakal) untuk ditanam ke empat penjuru atau kiblat papat limo pancer (timur., barat, utara dan selatan dan tengah) dengan permohonan keselamatan warga Karanglo.
Dalam pentasnya yang menggambarkan proses permohonan do’a dan menanam sesaji (cok bakal) ada dialog antara Ledhek Sredek dan Badut.yang diiringi oleh seperangkat gamelan dengan gendhing Cangklek. Kemudian pentas kesenian tersebut dilaksanakan tiap tahun sekali setelah panen raya kira-kira bulan Juli – Agustus dan dibarengi dengan kegitan bersih desa. Seiring dengan perkembangan jaman pentas kesenian tersebut sekarang dipentaskan dalam 2 (dua) tahun sekali karena mengingat biaya yang besar, sehingga warga merasa keberatan kalau dilaksanakan setahun sekali.
Sampai sekarang kesenian tersebut masih dijaga dan setiap pentas dalam bersih desa, masyarakat yang sudah sukses dan merantau keluar daerah semua berusaha pulang untuk mengikuti proses Ureng-Ureng Tiyet Ledhek Gondhel Beruk Mari Kangen.
Mbah Sarno juga mengatakan kalau ledhek maupun badut belum atau tidak mengkader , karena pernah sekali dalam bersih desa mementaskan kesenian Ureng-Ureng Tiyet Ledhek Gondhel Beruk Mari Kangen, ledhek dan badut diganti yang lebih muda untuk menarik penonton, namun akibatnya warga kena getahnya yaitu gagal panen. Karena menurut cerita kalau nanti Ledhek Sredek dan Badut meninggal dunia, akan muncul lagi peraga lain yang saat ini belum diketahui.

3. Kenapa Dinamakan Ureng-Ureng Tiyet ?
Menurut cerita mbah Sarno, karena kondisi Bu Lurah tuli dan lumpuh, ketika sesepuh yang datang memberi salam / uluk salam (Kulanuwun) tidak mendengar, kemudian sesepuh tadi memberi kode dengan gerakan tangan diputat-putar (ureng-ureng = muter-muter) diatas kepala , baru Bu Lurah tahu kalau ada tamu, kemudian Bu Lurah menjawab Tiyet artinya mempersilahkan (jawa : mangga). Dari cerita itulah akhirnya kesenian tersebut dinamakan Ureng-Ureng Tiyet Ledhek Gondhel Beruk Mari Kangen.

5. Orek-Orek.
Latar Belakang
Orek-orek adalah bentuk kesenian (tari) yang berkembang di Desa Lempong Kecamatan Jenawi Kabupaten Karanganyar. Orek-orek sendiri berasal dari Jawa Timur yang dibawa oleh pengamen yang masuk ke wilayah Provinsi Jawa Tengah dan akhirnya berkembang dan bahkan dilestarikan khususnya di desa Lempong Kecamatan Jenawi.
Desa Lempong adalah sebuah desa kecil,berbentuk seperti gunung yang letaknya di ujung sebelah timur berbatasan dengan Desa Jambean Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen
Sebagian besar penduduk Desa Lempong petani, meskipun ada yang wiraswasta, pedagang ataupun Pegawai Negeri. Masyarakat Lempong merupakan satu kesatuan yang lekat dan terkait satu sama lain oleh norma-norma hidup yang harus dijalankan walaupun dalam bentuk yang sederhana, seperti halnya Gotong-royong dan musyawarah di desa masih dalam bentuk yang sederhana. Hal ini merupakan tradisi yang mesti berlaku terus-menerus, karena dianggap waridan suci dari leluhur (B. Simanjuntak)
Demikian pula dalam hal beragama, walaupun mayoritas penduduk Desa lempong memeluk Islam, namun dalam kenyataan hidup dan kehidupannya mereka hidup saling pengertian dan hormat-menghormati. Masyarakat Lempong masih melaksanakan adat yang turun temurun misalnya bersih desa yang masih berjalan hingga sekarang.
Pada upacara-upacara selamatan, biasanya penduduk menampilkan kesenian yang hidup di Desa Lempong seperti Keroncong Bambu. Kehoprak, Orkes Dangdut, Karawitan dan Orek-orek.

Asal-usul Kesenian Orek-orek di desa Lempong
Riwayat muncul dan berkembangnya kesenian/tari Orek-orek Desa Lempong Kecamatan Jenawi dimulai dari kemunculannya di Desa Bayem, Kecamatan Sine Kabupaten Ngawi Jawa Timur. Sekitar tahun 1950 Sono Pawiro Sirin memimpin rombongan kesenian Orek-orek untuk mbarang (ngamen) keliling sebagai mata pencahariannya. Selain ngamen ia juga mengajar kesenian Orek-orek di rumahnya dan kadang juga diundang untuk melatih di daerah lain. Kemudian pada tahun 1960 rombongan pengamen pimpinan Sono Pawiro Sirin ini sampai di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dibatasi oleh sungai Desa Lempong Kecamatan Jenawi Kabupaten Karanganyar. Pada saat itu kesenian Orek-orek sedang ditanggap oleh penduduk Dusun Dayu dalam rangka khitanan.
Berawal dari peristiwa itulah kemudian banyak orang yang berminat belajar kesenian Orek-orek.termasuk mantan Kepala Desa Lempong.Hasil dari musyawarah masyarakat Desa Lempong sepakat untuk belajar kesenian Orek-orek,dengan imbalan jasa padi sebanyak sembilan kilogram.Latihan diadakan seminggu sekali setiap rabu malam pukul 19.00 setelah istirahat dari pekerjaan sehari-hari sebagai petani.
Kesenian Orek-orek warga Desa Lempong berkembang dengan pesatnya,dan kemudian kelompok kesenian Orek-orek ini diberi nama Ngesti Budoyo Iromo yang dibentuk pada tanggal 1 Pebruari 1979.Kemudian pada tanggal 1 Maret 1983 kelompok kesenian ini disahkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Jenawi dengan nomor induk: 34/II/03/13/J/83
Jumlah anggota kesenian Orek-orek ada 32 orang yang meliputi 31 orang pria dan 1 orang wanita sebagai pesindhen. Rincian anggotanya adalah sebagai berikut : 20 orang pria sebagai penari (pemain), 10 orang pengiring, 1 orang pengeprak dan 1 orang swarawati (pesindhen).

6. Reog.
Reyog adalah salah satu kesenian tradisional yang berasal dari Ponorogo Jawa Timur. Sejalan dengan perkembangan jaman maka kesenian Reog berkembang hampir keseluruh penjuru Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Karanganyar Kesenian Reyog berkembang dengan pesat. Salah satu daerah di Karanganyar yang mengembangkan Reog adalah Daerah Tawangmangu khususnya di Dusun Pancot.
Reyog dipercaya sebagai suatu upacara meminta perlindungan pada kekuatan gaib setempat. Singa dan merak yang pada saat itu banyak terdapat di hutan-hutan daerah Ponorogo dianggap sebagai penjelmaan kekuatan tersebut. Menurut cerita, semakin lama unsur binatang semakin terpisah dengan unsur upacara, berubah menjadi satu bentuk hiburan dan pada abad ke 14 menjadi sarana yang tepat untuk memperingati peristiwa kepahlawanan
Tokoh paling mengagumkan dalam kesenian reyog adalah barong yang menggambarkan tokoh utama dalam cerita, bertopeng harimau besar, terang dan mencolok dengan mahkota dhadhak merak seberat ± 30 sampai 50 bahkan bisa sampai 60 kg. Tokoh utama reyog adalah singabarong yang berbentuk harimau (topeng) dan merak (mahkota). Dua binatang ini dalam hidupnya selalu berdampingan, dan dalam reogpun gambaran kedua binatang ini juga selalu kerjasama dalm mempertahankan wilayah atau daerah mereka
Reyog singobarong adalah kesenian yang menggambarkan peperangan antara tokoh yang baik dan tokoh yang tidak baik, yang pada akhirnya dimenangkan oleh tokoh yang baik, sehingga tokoh yang tidak baik siap mengabdi kepada yang baik.

Demikian hal-hal yang berkaitan dengan berbagai peninggalan kepurbakalaan yang tersimpan di lereng barat Gunung Lawu atau tepatnya di wilayah Kabupaten Karanganyar Propinsi Jawa Tengah. Kini lereng barat gunung Lawu dikembangkan sebagai Daerah Tujuan Wisata Spiritual yang ditopang oleh potensi dan daya tarik alami, serta tata kehidupan masyarakat yang bermukim diwilayah ini.



KESIMPULAN DAN PENUTUP

Kabupaten Karanganyar yang terkenal dengan slogan INTANPARI (Industri , Pertanian dan Pariwisata) –nya, ternyata di bidang Pariwisata sangat kaya akan ragam kebudayaan tradisionalnya, terutama budaya upacara adat tradisi yang berkaitan dengan kegiatan spiritual/religi/kepercayaan masyarakat, berkaitan dengan perdagangan atau ekonomi, berkaiatan dengan kegiatan pertanian atau yang berkaitan dengan daur hidup. Sementara yang bisa kita data diantaranya adalah , metik padi (upacara adat panen raya berhubungan dengan pertanian), Pasar Kumandang (berhubungan dengan perdagangan atau ekonomi) rasulan dan bersih desa (berhubungan dengan daur hidup), Mondosiyo, Dhukutan, Wahyu Kliyu , Jomboleko, Julungan, Sesaji Mahesa Lawung (berhubungan dengan keselamatan bangsa)
Dalam pelaksanaan kegiatan upacara tradisi yang telah membudaya bagi masyarakat Kabupaten Karanganyar, selalu ada suguhan kesenian tradisi seperti kidungan atau macapatan, pagelaran Wayang Kulit, Srandil, Reyog, yang semuanya merupakan pelajaran hidup, baik tentang tatakrama atau unggah-ungguh, pendidikan budi pekerti, kebersamaan atau gotong royong saling bahu membahu, keagamaan, yang inti dari kesemuanya adalah bertujuan memohon keselamatan, kesejahteraan hidup baik didunia dan akherat nantinya.
Demikian Buku Potensi Budaya di Kabupaten Karanganyar ini dibuat untuk dapat dipergunakan sebagai acuan / pedoman untuk mendukung kelancaran kegiatan “ Pelestarian dan Aktualisasi Adat Budaya Daerah” Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Karanganyar
Kebersamaan dan keterpaduan gagasan akan mendukung keberhasilan kegiatan ini melalui partisipasi aktif dari semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sejarah mengajarkan kita, bahwa hari depan tiap bangsa tidak berkembang dalam suatu facuum , melainkan berkesinambungan dalam segala peristiwa dan jejaknya.
Oleh karena itu, keberhasilan kegiatan ini terpulang kepada kita, bagaimana memahami persoalan. Saling membantu dan bekerja tercipta suasana nyaman dan menyenangkan. Dengan terbitnya Buku Potensi Budaya di Kabupaten Karanganyar ini diharapkan dapat menjadi wadah dan memotivasi para generasi muda untuk mencintai budaya sendiri. Seksi Museum, Kepurbakalaan, Sejarah dan Nilai Tradisi Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Karanganyar, bersama unsur-unsur terkait, berupaya mewujudkan , mengembangkan dan melestarikan Adat Budaya Tradisional meskipun belum bisa sempurna. Sinkronisasi Program adalah diantara yang bisa dilakukan.
Akhirnya Tim berharap, semoga bukan sebagai payung alasan dan perlindungan kekurangan, meski dalam konteks hasil, tak ada kesempurnaan dalam bentuk. Trima kasih.
Semoga Tuhan meridhoi kita semua








DAFTAR PUSTAKA

1. Dr. Yety Rochwulaningsih, M.Si, 2009, Tehnik Penulisan Sejarah Dan Budaya Lokal
2. Badan Pusat Statistik Kabupaten Karanganyar, 2009, Kabupaten Karanganyar Dalam Angka
3. Bulletin Himpunan Kerabat Mangkunegaran, 2008, Mengenal Kepemimpinan dan Karya Pengabdian Kanjeng Gusti Adipati Ario(KGPAA) Mangkunegoro IV
4. Rara Sugiarti, 2009, Materi Diskusi Peran Kesenian Daerah Sebagai Daya Tarik Wisata
5. Riyanti, 2010, Hasil Penelitian : Tayub Dalam Ritual Bersih Desa di Desa Dalungan Kebakkramat
6. Krisetyaningsih, 1995, Hasil Penelitian : Bentuk dan Perkembangan Tari Orek-orek di Desa Lempong Kecamatan Jenawi
7. Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar, 2007, Wisata Religi dan Edukasi
8. Sri Hastanto ISI Surakarta, 2009, Materi Sosialisasi Peta Budaya Nusantara
9. Pemerintah Kabupaten Karanganyar, 2009, Buku Kumpulan Hasil Penelitian